Sultra – Lumbungsuaraindonesia.com
Ternyata di usia 80 tahun Indonesia Merdeka masih kita jumpai dan saksikan Potret perjuangan anak-anak bangsa untuk menuntut ilmu kembali mencuri perhatian publik. Di sejumlah daerah pelosok, siswa harus mempertaruhkan nyawa hanya demi bisa sampai ke sekolah.
Di Kabupaten Maros, Desa Bonto Manurung, Sulawesi Selatan, para siswa setiap hari menyeberangi sungai menggunakan gondola darurat berbahan besi hasil dari Swadaya warga setempat yang berjumlah 70 KK. Gondola itu digerakkan secara manual, tanpa pengaman memadai. Dalam satu kali perjalanan, beberapa anak masuk ke dalam kerangka gondola, lalu perlahan mereka menarik tali gondola melintasi aliran sungai berbatu di bawahnya. Risiko jatuh sangat tinggi, namun mereka tetap menempuh jalur tersebut karena tidak ada pilihan lain.
Salah seorang warga Maros, Rahma (38), mengaku waswas setiap kali anaknya berangkat sekolah pada jam 6.30 pagi.
Kami selalu cemas karena gondola ini sangat berbahaya. Tapi kalau tidak lewat sini, anak-anak bisa terlambat atau bahkan tidak sampai ke sekolah. Kami sangat berharap pemerintah segera membangun jembatan yang aman, ujarnya.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Tanggamus, Lampung di Desa Tampang Muda Kecamatan Pematang Sawah. Untuk mencapai sekolah, anak-anak harus melewati jembatan bambu yang rapuh dan rusak parah karena usianya sudah cukup lama sejak tahun 2011.
Jembatan yang membentang di atas aliran sungai ini nyaris roboh, hanya bertumpu pada batang-batang bambu yang sudah lapuk. Setiap langkah mereka penuh risiko, namun semangat untuk belajar mengalahkan rasa takut. Setelah melewati jembatan berbahaya, para siswa masih harus berjalan kaki cukup jauh di jalan setapak pedesaan.
Tokoh masyarakat setempat, Hendri (52), menegaskan bahwa warga sudah lama mengusulkan pembangunan jembatan permanen, namun hingga kini belum ada tindak lanjut.
Kami sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi ke pemerintah daerah. Anak-anak kami tidak seharusnya bertaruh nyawa hanya untuk bersekolah. Kami mohon agar pembangunan jembatan ini segera diprioritaskan, katanya.
Bupati Tanggamus, Muh. Saleh menyampaikan terimakasih atas informasi yang disampaikan, dan selanjutnya akan meninjau langsung jembatan tersebut guna memastikan status dan tupoksi penanganannya, apakah kewenangan Propinsi atau Kabupaten, ungkapnya.
Fenomena ini menyingkap kelemahan dalam arah pembangunan pemerintah yang kerap mengabaikan kebutuhan dasar masyarakat. Program pembangunan di daerah sering tidak menyentuh masalah utama, sementara proyek-proyek lain yang tidak mendesak justru dijalankan.
Alih-alih menempatkan akses pendidikan sebagai skala prioritas, pemerintah terkadang lebih fokus pada proyek-proyek besar yang tidak langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kondisi ini membuat daerah terpencil tertinggal, dan anak-anak harus tetap berjibaku dengan bahaya hanya untuk mengejar pendidikan.
Padahal, semangat membangun seharusnya berpihak pada kesejahteraan dan keselamatan rakyat, terutama anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Infrastruktur dasar seperti jembatan, jalan, dan transportasi sekolah harus menjadi perhatian utama, bukan program yang terus tertunda.
Tentu, Masyarakat berharap pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil langkah nyata. Perbaikan jembatan, pembangunan akses jalan yang aman, serta penyediaan transportasi layak akan sangat membantu anak-anak dalam menuntut ilmu tanpa harus mempertaruhkan keselamatan.
Kisah perjuangan siswa di Maros dan Tanggamus ini menjadi cermin sekaligus peringatan kepada pemerintah baik di daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia maupun pusat bahwa semangat pembangunan tidak boleh sekadar jargon, melainkan diwujudkan dalam kerja nyata yang menyentuh kebutuhan paling mendasar rakyat.
Redaksi : 29/8/2025
**LM@**


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.




Komentar