Jakarta //Lumbungsuaraindonesia.com
Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, mengungkapkan bahwa banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam. Hasil penelusuran aparat penegak hukum menunjukkan adanya kontribusi signifikan aktivitas manusia, khususnya alih fungsi kawasan hutan dan pelanggaran tata kelola lingkungan.
Temuan tersebut disampaikan Jaksa Agung dalam laporan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) kepada Presiden RI. Satgas PKH merupakan tim lintas kementerian dan lembaga yang dibentuk untuk menertibkan pemanfaatan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Alih Fungsi Lahan di Hulu DAS Jadi Pemicu Utama
Jaksa Agung menjelaskan bahwa hasil analisis awal menunjukkan kerusakan masif di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS). Kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air justru mengalami pembukaan hutan, perkebunan skala besar, serta aktivitas ekonomi lain yang tidak sesuai izin.
“Kerusakan hutan di bagian hulu menyebabkan berkurangnya daya serap tanah. Ketika hujan dengan intensitas tinggi terjadi, air langsung mengalir ke hilir tanpa tertahan, sehingga memicu banjir dan longsor,” ujar Jaksa Agung.
Ia menegaskan bahwa hujan ekstrem memang menjadi faktor pemicu, namun dampaknya menjadi jauh lebih parah akibat degradasi lingkungan yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Dalam laporannya, Satgas PKH telah mengidentifikasi sedikitnya 27 perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran, mulai dari penguasaan kawasan hutan tanpa izin, alih fungsi lahan ilegal, hingga pelanggaran izin pemanfaatan hutan.
Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di wilayah terdampak banjir di Sumatera dan saat ini telah dipanggil untuk proses klarifikasi. Selain korporasi, aparat penegak hukum juga menemukan indikasi keterlibatan perorangan, termasuk pihak-pihak yang diduga memfasilitasi atau membiarkan pelanggaran terjadi.
Jaksa Agung menegaskan bahwa proses ini tidak tebang pilih. “Siapa pun yang terbukti melanggar hukum dan merusak lingkungan akan dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Lebih lanjut, Jaksa Agung menyampaikan bahwa Satgas PKH tidak hanya fokus pada penertiban administratif. Jika ditemukan unsur pidana, baik pidana kehutanan, lingkungan hidup, maupun tindak pidana korporasi, maka kasus tersebut akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Rencana pendalaman hukum dijadwalkan berlangsung secara intensif mulai awal 2026, setelah seluruh proses klarifikasi dan pengumpulan data lapangan selesai.
“Negara tidak boleh kalah dalam menjaga hutan dan keselamatan rakyat. Kerusakan lingkungan yang berdampak pada bencana harus dipandang sebagai persoalan serius, tegasnya.
Banjir besar di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir telah menyebabkan kerusakan infrastruktur, terendamnya ribuan rumah, terganggunya aktivitas ekonomi, serta jatuhnya korban jiwa. Banyak wilayah yang sebelumnya tidak pernah terdampak banjir kini ikut terendam, menandakan adanya perubahan signifikan pada daya dukung lingkungan.
Pakar lingkungan menilai langkah Kejaksaan Agung melalui Satgas PKH menjadi momentum penting untuk pembenahan tata kelola hutan dan lahan secara menyeluruh, sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku perusakan lingkungan.
Jaksa Agung menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa penanganan banjir tidak cukup hanya melalui penanggulangan bencana, tetapi harus menyentuh akar masalah, yakni kerusakan ekosistem dan lemahnya pengawasan pemanfaatan kawasan hutan.
“Penegakan hukum ini bukan semata-mata mencari kesalahan, tetapi memastikan bencana serupa tidak terus berulang dan masyarakat mendapatkan perlindungan, ujarnya.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.




Komentar