Satu Persatu Napi Penghina Jokowi di Beri Amnesti oleh Prabowo

News240 views

Jakarta – Lumbungsuaraindonesia.com
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani Keputusan Presiden yang memberikan amnesti kepada 1.178 narapidana, termasuk sejumlah terpidana kasus penghinaan terhadap mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keputusan itu memunculkan beragam respons: dari apresiasi karena mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan hingga kekhawatiran soal pesan politik yang disampaikan melalui pengampunan terhadap tokoh-tokoh kontroversial.

Siapa saja yang diampuni — dan mengapa ini penting?

Di antara ribuan nama dalam daftar amnesti terdapat beberapa terpidana kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE yang pernah menyinggung figur Jokowi. Nama-nama yang mendapat sorotan publik termasuk Sugi Nur Raharja (Gus Nur) dan Yulianus Paonganan (Ongen) — keduanya pernah divonis terkait unggahan dan pernyataan yang menyinggung kepala Negara. Kehadiran nama-nama ini membuat amnesti memperoleh dimensi politik yang lebih tajam: bukan sekadar soal pembebasan narapidana, melainkan juga soal rekonsiliasi simbolik antar-aktor Politik di panggung Nasional.

Keputusan Amnesti diumumkan dan disetujui DPR akhir Juli – awal Agustus 2025, dan proses administratif pelaksanaan dilakukan pada hari-hari berikutnya. Beberapa Narapidana yang telah mendapatkan amnesti juga menjalani seremonial penyerahan Keputusan Presiden di Balai Pemasyarakatan setempat; misalnya, Gus Nur yang pada 6 Agustus resmi dinyatakan bebas murni setelah sebelumnya sempat mendapat pembebasan bersyarat. Pernyataan Gus Nur yang mengaku akan tetap kritis kepada pemerintah menjadi salah satu klip yang banyak diberitakan media.

Adakah makna Politik : “Matahari cuma Satu ?

Baca Juga:  Personel Polda Sultra bersama Polsek Rumbia Amankan Kampanye Dialogis Pasangan Calon Gubernur Sultra 2024

Ungkapan populer “Matahari cuma Satu di Indonesia” kerap dipakai untuk menggambarkan kehendak politik untuk menjaga stabilitas dan kontinuitas di atas persaingan personal. Dalam konteks ini, Amnesti yang juga mencakup kasus-kasus yang menyinggung Jokowi dapat dibaca sebagai sinyal dua arah:

1. Pengakuan dan peredaan ketegangan Dengan memberi amnesti kepada pihak-pihak yang pernah menentang atau menghina Jokowi, pemerintahan Prabowo menunjukkan niat untuk meredakan potensi konflik politik yang bisa memecah publik. Langkah ini memberi kesan: pergantian figur pemimpin tidak mesti berujung pada pembalasan politik.

2. Kalkulasi elektoral dan simbolik — Pengampunan terhadap tokoh yang sebelumnya menjadi kontroversi publik juga berpotensi mengubah narasi politik: dari antagonisme ke rekonsiliasi. Ini bisa memperkuat klaim pemerintahan baru sebagai “Penyatu” Nasional, sekaligus menurunkan tensi di arena publik dan Media Sosial. (Analisis)

Secara formal, Amnesti merupakan hak Prerogatif Presiden yang diatur undang-undang. Namun ketika Amnesti menyentuh kasus-kasus terkait kebebasan berekspresi, pertanyaan-pertanyaan krusial muncul: apakah Amnesti mengatasi masalah struktural seperti penggunaan pasal UU ITE yang kerap dipandang represif? Atau justru menutup debat hukum yang lebih luas tentang kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap ujaran di ruang publik? Organisasi hak asasi, akademisi, dan praktisi hukum kemungkinan akan menggunakan momentum ini untuk mendorong revisi kebijakan dan penegakan hukum yang lebih pro-free speech.

Akhirnya, Respons publik beragam ” baik dari Pengamat Politik, Ahli Tata Negara serta pendukung hak Asasi yang menyayangkan jika Amnesti dianggap menggantikan reformasi hukum, pendukung stabilitas menyambut baik langkah yang menurunkan polarisasi. Secara personal-politik, tindakan ini juga menjadi jawaban diplomatis terhadap keraguan publik tentang seberapa harmonis hubungan antara pemerintahan baru Prabowo dan figur mantan presiden Jokowi—menunjukkan ada dorongan untuk menjaga “satu matahari” dalam wacana kebangsaan.

Baca Juga:  Wakapolda Sultra Pimpin Penutupan Pendidikan Bintara Polri Gelombang II Tahun 2024

Pengamat Politik : Adi Prayitno,
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai bahwa keputusan pemberian Amnesti dan Abolisi berfungsi sebagai salah satu bentuk koreksi pemerintah terhadap tata cara penegakan hukum saat ini.
Dan sangat mungkin abolisi dan amnesti ini sebagai cara pemerintah saat ini mengoreksi proses dan tata cara penegakan hukum di Indonesia.
Menurutnya, keputusan ini juga memperkuat stabilitas politik, terutama ketika figur-figur yang menjadi simbol kubu oposisi atau partai tertentu diundang kembali berkontribusi dalam sistem pemerintahan yang kondusif.

Ahli Hukum Tata Negara: M. Wildan Humaidi

M. Wildan Humaidi, pakar hukum tata negara dari UIN Saizu Purwokerto, memberikan pandangan kritis mengenai pemberian Amnesti – Amnesti Politik.
Secara konstitusional, kewenangan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi memang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, substansi dan momentum pemberian pengampunan terhadap dua tokoh yang memiliki muatan politik ini patut dipertanyakan.
Ia berpendapat bahwa meski proseduralnya mungkin sah, proses persetujuan DPR bisa bersifat pro forma karena relasi yang sangat harmonis antara eksekutif dan legislatif saat ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi sistem hukum dan integritas lembaga peradilan.

Baca Juga:  Polres Kolaka Mulai Terapkan Program Polri Berprestasi Pada Jajarannya 

Ahli Hukum Tata Negara: Haidar Adam (Universitas Airlangga)

Haidar Adam, pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga, memberikan sudut pandang berbeda yang lebih tajam:
Ini menunjukkan terdapat masalah dalam tubuh kekuasaan Kehakiman.

Menurutnya, pemberian amnesti dan abolisi terhadap kasus-kasus korupsi yang masih dalam proses banding memperlihatkan ketidakpercayaan Presiden terhadap proses penegakan hukum dan mengganggu keseimbangan kekuasaan antar cabang pemerintahan—eksekutif dan yudikatif.

Amnesti besar-besaran ini bukan sekadar kebijakan hukum administratif, ia adalah sinyal politik yang kuat. Publik dan pengamat perlu mengawasi tiga hal ke depan.

Sementara dari segi Implementasi administratif, apakah Amnesti diterapkan konsisten dan transparan?

Menelisik dari dampak hukumnya, apakah keputusan ini diikuti upaya reformasi terhadap pasal-pasal yang mudah disalahgunakan?

Serta efek dari dinamika politiknya, apakah langkah rekonsiliasi ini berlanjut ke kanal kebijakan lain, atau hanya simbol sesaat?

Langkah Prabowo memberi amnesti kepada sejumlah Napi penghinaan Jokowi memang tampak sebagai upaya meredam konflik dan menegaskan kesinambungan politik, sebuah jawaban pragmatis terhadap keraguan publik bahwa “matahari” politik di Indonesia akan tetap satu, setidaknya dalam retorika stabilitas Nasional. Namun, efek jangka panjangnya akan ditentukan oleh apakah tindakan ini mendorong perbaikan sistemik atau hanya menyembunyikan masalah yang lebih dalam dalam peraturan dan praktik berpolitik di Indonesia.

Redaksi : 11 Agustus 2025
***LM@***

. . . . .

Komentar