Fenomena Munculnya Bendera Bajak Laut   ( One Piece ) Jelang HUT Kemerdekaan RI Ke 80, Ekspresi yang Penuh Makna

News121 views

Kendari – Lumbungsuaraindonesia.com
Agustus selalu menjadi bulan yang sarat makna. Setiap sudut Negeri bersolek dengan bendera Merah Putih, menghias gang-gang sempit hingga gedung pemerintahan megah. Lagu perjuangan berkumandang di Sekolah, Kantor, dan pusat perbelanjaan. Semangat Nasionalisme seolah dihidupkan kembali dalam ritual tahunan menyambut Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagaimana Pemasangan Bendera HUT  RI Ke – 80 telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara Nomor B-20/M/S/TU.00.03/07/2025.

Mengutip dari surat edaran tersebut, pemasangan Pendera Merah Putih untuk peringatan HUT Ke – 80 RI dilakukan pada tanggal 1- 31 Agustus 2025. Ini berarti, Bendera Merah Putih dikibarkan selama sebulan penuh.

Namun, di balik gegap gempita perayaan tersebut, di dunia maya justru muncul ironi: bendera tengkorak juga “dikibarkan”.
atau istilah kerennya “One Piece” yang khas dengan Jolly Roger.

Simbol tengkorak dengan topi bajak laut yang sebelumnya hanya menjadi meme sarkastik kini tampil bak “bendera alternatif” di benak sebagian rakyat. Ia bukan hanya menyindir, tapi menyampaikan pesan getir: patut di Duga ada yang merasa tidak lagi merdeka di Negeri sendiri.

Unggahan di Media Sosial selama bulan Kemerdekaan menunjukkan kontras yang mencolok : di satu sisi pengibaran Sang Saka Merah Putih, di sisi lain komentar Satir seperti “yang penting kibarin bendera, meski yang berkuasa bukan sosok yang didambakan .”

Apakah hal ini sebagai Simbol Perayaan atau Perlawanan?
Fenomena ini memperlihatkan bahwa bagi sebagian masyarakat, bendera bukan lagi simbol mutlak kebanggaan, melainkan juga medium kritik. Ketika simbol bajak laut dikibarkan secara digital di tengah semarak Agustus, itu bukan sekadar lelucon. Itu adalah bentuk ekspresi kebebasan berpendapat sekaligus pengingat bahwa Kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan secara Sosial, Ekonomi, dan Politik.

Baca Juga:  Tampil di Kompetisi Paduan Suara Internasional, Svara Bhayangkara Polri Masuk 5 besar dan Raih _Impresive Stage Performance

Menurut Dr. Intan Maulida, hal ini mencerminkan gesekan psikologis antara ritual Negara dan realitas rakyat.

Di satu sisi rakyat diminta mencintai simbol Negara, di sisi lain mereka melihat simbol itu digunakan untuk menutupi ketidakadilan. Maka mereka menciptakan simbol tandingan sebagai bentuk koreksi sosial, jelasnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama di tengah riuhnya kontestasi politik dan carut-marut kebijakan publik, muncul berbagai ungkapan dan simbol digital yang mencerminkan kegelisahan masyarakat Indonesia. Istilah seperti “Indonesia gelap”, “kabur aja dulu”, hingga gambar tengkorak mengenakan topi bajak laut menjelma menjadi semacam “bahasa rakyat” baru yang sarat makna.

Bukan sekadar candaan atau guyonan maya, ekspresi ini mencerminkan sesuatu yang lebih dalam: kekecewaan kolektif terhadap arah perjalanan bangsa.

Hingga  berbagai istilah muncul sebagai frasa dari kreatifikas psikologis berpikir anak bangsa yang mempunyai konektifitas dgn kondisi bangsa saat ini, Misalnya ;

🕯️ “Indonesia Gelap”
Istilah ini sering muncul di kolom komentar, meme, hingga twit viral. Frasa ini mengandung konotasi bahwa bangsa Indonesia tengah berada dalam kondisi tanpa harapan, tanpa kejelasan, dan kehilangan arah moral. Gelap tidak hanya bermakna secara fisik, tetapi juga simbolik—menggambarkan matinya etika, nurani, dan keadilan.

🏃 “Kabur Aja Dulu”
Ungkapan ini muncul sebagai respons terhadap kondisi sosial-politik yang membuat masyarakat, khususnya generasi muda, merasa tidak lagi aman, nyaman, maupun optimis terhadap masa depan negeri sendiri. Banyak yang menyuarakan keinginan untuk “pindah warga negara”, “kuliah dan kerja di luar Negeri”, atau “melarikan diri” secara mental dari keterlibatan politik.

Baca Juga:  Akhirnya Direktur PT. Tristaco Mineral Makmur dan Kuasa Direktur PT. Cinta Jaya Resmi Tersangka, Semua Karena Pesona Kilau Ore Nikel Block Mandiodo.

Tengkorak dengan Topi Bajak Laut.
Visual ini menjadi meme populer, sering digunakan untuk menyindir para pejabat atau institusi yang dianggap merampok kekayaan negara, korup, atau tak bermoral. Simbol bajak laut menunjukkan pemerintahan yang bertindak seolah tidak memiliki Kompas moral, menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi.

Apa Latar Belakang Sosial Kemunculan Ungkapan dan Istilah ini.

Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari akumulasi rasa frustrasi, ketidakpuasan, dan kejenuhan masyarakat terhadap praktik politik yang dianggap manipulatif, tidak transparan, dan Koruptif.

Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhkan berbagai isu:

Politik Dinasti yang semakin terang-terangan.

Dugaan Pelemahan terhadap lembaga-lembaga Pengawasan.

Kasus hukum yang dinilai tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Skandal korupsi dengan angka fantastis yang tak kunjung berujung pada keadilan substantif.

Di tengah kebuntuan kanal-kanal Demokrasi konvensional, masyarakat khususnya generasi muda memilih Media Sosial sebagai ruang pelampiasan dan perlawanan simbolik.

Pandangan Pengamat Media Sosial: “Satire sebagai Senjata Baru”

Menurut Dr. Intan Maulida, pengamat Media dan Budaya digital dari Universitas Indonesia, kemunculan meme dan istilah ini adalah wujud dari “sindiran digital kolektif.

Ini bukan sekadar lelucon. Ini adalah bentuk resistensi simbolik. Generasi sekarang lebih memilih satire sebagai bentuk protes karena mereka merasa tidak didengar oleh saluran politik formal,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam konteks komunikasi digital, ekspresi seperti ini justru lebih efektif menjangkau dan menyentuh massa karena sifatnya yang mudah dipahami, emosional, dan cepat viral.

Baca Juga:  Mahasiswa UHO Studi Lapang Pengelolaan Lahan Mahasiswa Kehutanan UHO Kendari Lakukan Studi Lapang di PT Vale

Pandangan Pengamat Sosial Politik: “Bahasa Putus Asa yang Patut Diwaspadai”

Sementara itu, Dr. Ahmad Fadhil, pengamat sosial-politik dari LIPI, memandang fenomena ini sebagai sinyal menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ketika masyarakat mulai menggunakan istilah seperti ‘negara bajak laut’, ini artinya ada erosi legitimasi. Negara tidak lagi dianggap pelindung, tapi justru predator. Ini bahasa putus asa yang seharusnya menjadi alarm bagi penguasa, ujarnya.

Fadhil mengingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi apatisme massal atau bahkan gerakan sosial yang lebih radikal.

Antara Satire dan Kritik: Suara yang Tidak Bisa Diabaikan.

Ungkapan-ungkapan ini tidak bisa hanya dibaca sebagai humor semata. Di baliknya, tersimpan suara rakyat yang resah, kecewa, namun tetap ingin didengar. Meski dalam bentuk sindiran, meme dan istilah tersebut menunjukkan bahwa publik masih peduli, masih mengamati, dan masih berharap.

Ironisnya, Negara justru kerap merespons ekspresi ini dengan tindakan represif, alih-alih introspeksi.

Kini,  Saatnya Mendengar berbagai  istilah atau meme yang bermunculan saat ini, karena Fenomena ini adalah cermin meski retak dan pahit, tetap mencerminkan wajah bangsa hari ini. Masyarakat bersuara dengan cara mereka sendiri. Jika suara itu terdengar nyaring dalam bentuk meme tengkorak dan sindiran “kabur aja dulu”, maka itu adalah pesan: ada yang salah, dan harus diperbaiki.

Daripada memadamkan lilin yang menyala di tengah gelap, barangkali saatnya pemangku kekuasaan menyalakan kembali lentera harapan bangsa.

Sebab, Media Sosial saat ini menjadi wadah baru bagi masyarakat Indonesia untuk menyampaikan kritik dan keresahan secara kreatif dan simbolik.

Redaksi : 3 Agustus 2025.
***LM@***

. . .

Komentar