Nikel Digali, Alam Digadai ; Membongkar Jejak Kerusakan dan Minim Setoran Pajak PT Sulawesi Cahaya Mineral di Bumi Anoa

News55 views

Kendari /Lumbungsuaraindonesia.com        Di balik geliat industri nikel yang digaungkan sebagai simbol kemajuan dan transisi energi hijau, tersimpan ironi besar di jantung Sulawesi Tenggara. Dalam kurun dua tahun terakhir, PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) menambang jutaan ton bijih nikel dari perut Bumi Anoa, Kecamatan Routa, Konawe Utara.
Namun, di saat yang bersamaan, hutan digunduli, tanah dilukai, air tercemar, dan masyarakat di sekitar tambang menanggung dampak yang tak masuk dalam laporan laba perusahaan.

Mengutip dari Data yang berhasil dihimpun oleh SOROTSULTRA.com terbitan 3 Desember 2025 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 PT SCM memproduksi 6,4 juta metrik ton nikel. Sementara pada 2025, produksi ditargetkan tembus 7 juta metrik ton. Angka ini menjadikan SCM sebagai salah satu produsen nikel terbesar di Sulawesi Tenggara yang menyuplai kawasan industri smelter di Morowali, Sulawesi Tengah.

Namun, besarnya produksi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat atau kontribusi signifikan terhadap daerah. Justru sebaliknya: lingkungan hancur, kewajiban reklamasi dipertanyakan, dan setoran pajak ke daerah dinilai jomplang dengan skala eksploitasi.

Baca Juga:  Dugaan Korupsi Mantan Kepala Desa Tanjung Laimoe Kandas di Meja Inspektorat Konut, Ketua DPD LIN Sultra Minta Kejaksaan Segera Tindak Lanjut Laporan Aduan

Alam Terkoyak, Air Menghitam, Hutan Menghilang
Di wilayah konsesi PT SCM, hamparan hijau kini berganti luka-luka tanah merah menganga. Bukaan tambang terbentang luas, sebagian tanpa pagar pengaman, sebagian lainnya dibiarkan seperti kubangan raksasa. Material laterit mengalir ketika hujan turun. Lumpur merayap ke sungai dan kebun warga.

Dulu air bisa diminum langsung. Sekarang berwarna, kadang bau lumpur, ungkap seorang warga lingkar tambang yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Sejumlah titik reklamasi diduga tak dikerjakan sesuai ketentuan perundang-undangan. Lubang bekas tambang tak ditutup, tidak dilakukan revegetasi, dan tanah tak dikembalikan ke fungsi ekologis. Padahal, reklamasi bukan pilihan, melainkan kewajiban hukum.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas mewajibkan perusahaan menormalisasi kembali tanah pasca tambang. Namun, di lapangan, reklamasi acap kali hanya nama di dokumen, nihil realisasi.

Setoran Pajak: Jauh dari Kata Seimbang
Produksi jutaan ton, tetapi pajak yang masuk tak sebanding. Itulah ironi kedua.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Sulawesi Tenggara, Mujahidin, S.Pd., SH., MH., mengungkapkan bahwa pembayaran Pajak Air Permukaan (PAP) PT SCM justru mengalami penurunan.

Baca Juga:  *Lakukan Kunjungan di Kapuas Hulu, Ini Kegiatan Yang Dihadiri Kapolda Kalbar*

Tahun 2024 PT SCM membayar Pajak Air Permukaan sebesar Rp277.023.443. Sementara pada tahun 2025 hanya Rp208.817.734,” kata Mujahidin di Kendari, Jumat , 21/11/2025.

Penurunan pajak ini terjadi di saat produksi perusahaan meningkat jutaan ton. Publik pun bertanya: ke mana mengalir keuntungan besar pertambangan ini?

Tak hanya PAP. Pajak alat berat, kendaraan operasional, serta kewajiban daerah lainnya juga diduga belum ditunaikan secara patuh. Data rinci kontribusi fiskal PT SCM terhadap daerah sulit diakses publik.

Padahal, asas pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Realitanya, negara dan daerah seolah jadi penonton, sementara kekayaan alam dikirim keluar wilayah.

CSR: Sunyi dalam Kemewahan Tambang
Jika pajak minim, apakah CSR menjadi kompensasi?

Nyatanya, warga di sekitar tambang tak merasakan dampak nyata. Program pemberdayaan nirinformasi, bantuan sosial tak transparan, dan tidak ada laporan terbuka soal dana CSR perusahaan.
Tambangnya besar, tapi kampung kami seperti tak dianggap,” kata warga lain.

Baca Juga:  Silaturahmi Bersama Purnawirawan Polri di Polda Sultra, Dalam Rangka HUT ke-25 PP Polri Tahun 2024

Padahal, CSR adalah keharusan moral sekaligus sosial bagi perusahaan tambang. Sementara perusahaan mengeruk kekayaan, masyarakat seharusnya menikmati pembangunan, bukan sekadar debu dan bising alat berat.

Negara Kalah oleh Korporasi?
Rangkaian persoalan ini berujung pada satu pertanyaan besar: Apakah negara benar-benar berdaulat atas tambang, atau justru tunduk  pada korporasi?

Ketiadaan audit terbuka, lemahnya pengawasan lingkungan, dan minimnya transparansi fiskal menunjukkan potensi pembiaran sistemik.

Sejumlah aktivis lingkungan mendesak:
* audit lingkungan menyeluruh
* pemeriksaan kepatuhan pajak
* evaluasi izin usaha pertambangan
* penegakan sanksi
* keterbukaan dana CSR
* reklamasi berbasis ekologi

Pertambangan tidak hanya soal angka produksi dan target ekspor. Ia tentang masa depan. Tentang tanah yang tak kembali subur. Tentang sungai yang tak lagi jernih. Tentang generasi yang mewarisi lubang, bukan kemakmuran.

Jika negara diam, sejarah akan mencatat:
bahwa bumi Sulawesi Tenggara
pernah kaya
lalu dilucuti
atas nama investasi.

Hak Jawab Dibuka.
Hingga naskah ini diterbitkan, manajemen PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan Dugaan kerusakan lingkungan, reklamasi, kewajiban pajak, dan pelaksanaan CSR.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar