Kritik ASWIN Menggema” Polda Sultra dan Lubang Ketidakpercayaan Publik

News20 views

Kopperson vs Pemprov : Ketika Polri Diduga Memilih Pihak Kuat
Kendari/Lumbungsuaraindonesia.com
Polemik pengamanan konstatering yang dilakukan Polda Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) kembali berpuncak pada perdebatan publik setelah muncul dugaan perlakuan berbeda dalam dua putusan pengadilan yang sama-sama memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Dua putusan itu adalah:
1. Konstatering putusan yang dimenangkan Kopperson, kelompok masyarakat berbasis usaha rakyat yang memperoleh kemenangan sah melalui mekanisme peradilan Negara;

2. Konstatering eks-lokasi PGSD Wua-wua yang dimenangkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Hasil liputan investigasi dan pantauan lapangan menunjukkan perbedaan perlakuan yang begitu mencolok, sehingga memunculkan pertanyaan publik:
Apakah Polri bekerja berdasarkan perintah Negara atau berdasarkan siapa yang lebih kuat?

I. Putusan Kopperson: Menang Sah, Namun Pengamanan Minim.

Kemenangan Kopperson adalah perintah Negara yang bersumber dari putusan pengadilan. Namun pada hari konstatering, pengamanan dinilai tidak sebanding dengan kebutuhan lapangan:

Personel yang diturunkan relatif sedikit, kendatipun laporan sebagian Media mengatakan 800 personil yang kontras dengan yang nampak di lapangan,
* tidak tampak standar kesiapsiagaan penuh,
* tidak ada perimeter berlapis,
*respons dianggap lambat,
* dan terkesan “sekadar formalitas”.

Baca Juga:  Dukung Program Ketahanan Pangan Nasional Polda Sultra Panen Jagung dan Tabur 1000 Benih Ikan di Lahan Sat Brimob

Padahal menurut UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 13 huruf a, Polri wajib menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk dalam pelaksanaan putusan pengadilan.

Selain itu, pelaksanaan konstatering (eksekusi) merupakan bagian dari perintah negara berdasarkan KUHAP dan yurisprudensi Mahkamah Agung:
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dihormati, siapapun pihak yang dimenangkan.

Namun dalam kasus Kopperson, warga melihat Polri bertindak seolah kurang menaruh perhatian.

II. PGSD Wua-Wua: Polda Turun Full Set Seperti Objek Vital Negara.

Sebaliknya, pada konstatering putusan PGSD, Polda Sultra menurunkan kekuatan sangat besar :
* pasukan  lengkap,
* kendaraan taktis,
* perimeter pengamanan berlapis,
* unit respon cepat,
* hingga pengamanan teritorial menyeluruh.

Standar pengamanan ini sebenarnya baik, namun justru mengundang tanda tanya karena tidak diterapkan sama terhadap putusan Kopperson yang tingkat urgensinya sama-sama perintah negara.

III. Analisis Hukum: Dua Putusan Seharusnya Diperlakukan Sama.
Menurut prinsip equality before the law (UUD 1945 Pasal 27 ayat 1):
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.”

Dalam konteks Eksekusi Putusan:
Polri tidak boleh membedakan pengamanan berdasarkan siapa yang menang atau siapa pihak yang lebih kuat.

Baca Juga:  Kisah Inspiratif, Dari Iseng Olifiansyah Mampu Mendirikan Sebuah Perusahaan Media yang Mulanya Hanya Dari Istagram

Pengamanan adalah kewajiban institusional, bukan pilihan politis.

Putusan negara memiliki status setara, baik dimenangkan pemerintah maupun rakyat kecil.

Karena itu, dugaan perbedaan perlakuan merupakan masalah serius yang perlu klarifikasi resmi.

IV. IYAN (Sekretaris DPD ASWIN Sultra):

POLDA SULTRA SEDANG MENGGALI LUBANG KETIDAKPERCAYAAN PUBLIK.”**
Yang paling vokal menyikapi ketimpangan ini adalah IYAN, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah ASWIN Sultra.

Dalam pernyataan pers Nasional, Iyan menegaskan:

“Dua putusan negara harusnya dijaga setara. Tapi yang terjadi justru timpang. Untuk Pemprov full pengamanan, untuk Kopperson seolah dianggap tidak penting. Ini mengguncang kepercayaan publik.”

Ia melanjutkan dengan kritik pedas:

“Kalau Polri lebih responsif pada jabatan dan kekuatan penguasa, lalu mengabaikan putusan yang dimenangkan rakyat kecil, itu bukan hanya kesalahan prosedur—itu pelanggaran etika institusi.”

Iyan juga menyinggung kemungkinan adanya pengaruh eksternal:

“Kami mencium adanya shadow influence. Tidak boleh ada. Polri harus steril dari tekanan jabatan, tekanan politik, maupun tekanan pengusaha. Kalau Polda dibiarkan seperti ini, marwah institusi akan runtuh.”

Baca Juga:  Sejumlah Personel Kepolisian Amankan Aksi Unjuk Rasa di Kantor KPU dan Bawaslu Sultra

Menurut Iyan, apa yang terjadi bukan lagi sekadar perbedaan teknis, melainkan alarm bahaya bagi integritas hukum.

V. ASWIN Sultra: Siap Kirim Permintaan Klarifikasi Resmi.

Iyan memastikan bahwa DPD ASWIN Sultra akan:

mengirimkan surat terbuka kepada Kapolda Sultra,

meminta penjelasan atas standar ganda pengamanan,

meminta audit internal terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat Perwira,

dan membawa isu ini ke tingkat DPP ASWIN pusat untuk dipantau secara nasional.

Kami tidak boleh membiarkan rakyat kecil kalah berkali-kali di pengadilan menang, tapi di lapangan dikecilkan. Itu tidak boleh,” tegasnya.

VI. Penutup: Mengembalikan Marwah Polri
Fenomena ini adalah ujian besar bagi Polda Sultra.
Jika dua putusan negara diperlakukan tidak setara, publik akan membaca bahwa:

Hukum tunduk pada jabatan, bukan keadilan;
* Kekuatan politik lebih kuat dari perintah negara;
* Rakyat kecil kembali terpinggirkan.

ASWIN Sultra menegaskan bahwa kritik ini adalah bagian dari fungsi kontrol sosial, bukan permusuhan.

Tujuannya satu: mengembalikan Polri pada posisi sejatinya sebagai pengawal hukum, bukan pengawal kekuatan.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar