Kuasa Khusus Kopperson Gugat “Konspirasi Peradilan” Minta MA Copot Ketua PN Kendari dan PT Sultra

News21 views

Kendari/ Lumbungsuaraindonesia.com Sengketa panjang di kawasan Tapak Kuda, Kendari, kembali menyeruak ke permukaan. Kuasa Khusus Koperasi Personalia (Kopperson), Fianus Arung, menuding adanya pelanggaran serius dalam sistem peradilan daerah setelah Pengadilan Negeri (PN) Kendari menetapkan bahwa putusan sita eksekusi atas aset Kopperson tidak dapat dieksekusi (non-eksekutabel) meski perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Dalam pernyataan resminya, Fianus menilai keputusan PN Kendari dan Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Tenggara itu bukan hanya mencederai kepastian hukum, melainkan juga membuka ruang dugaan adanya praktik yang tidak transparan di tubuh lembaga peradilan.

Ini bertentangan dengan penetapan sita eksekusi tahun 2018. Ketua pengadilan yang lama sudah menetapkan sita eksekusi, mengapa ketua pengadilan yang baru justru mengeluarkan penetapan non-eksekusi? Hal ini akan kami lawan, tegas Fianus, Kamis (13/11/2025).

Dugaan Konspirasi dan Desakan ke Mahkamah Agung.
Tidak berhenti di situ, Fianus mengungkap adanya indikasi konspirasi di balik keluarnya surat penetapan tersebut. Ia menuding telah terjadi pertemuan intens antara pejabat PN dan PT Sultra sebelum keputusan non-eksekusi dikeluarkan.

Kami duga di situ ada konspirasi. Sebab sebelum surat itu keluar, mereka ada pertemuan yang intens antara PT dan PN, ujarnya.

Atas dasar itu, pihak Kopperson mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk turun tangan. Mereka menuntut pencopotan Ketua PN Kendari dan Ketua PT Sultra jika terbukti ada penyimpangan dalam proses pengambilan keputusan.

Baca Juga:  Gugus Tugas Ketahanan Pangan Polri Tanam Padi Serentak, Cetak 10 Ribu Hektare Sawah

Kami siap menuntut MA agar mencopot Ketua Pengadilan Tinggi Provinsi Sultra dan Ketua Pengadilan Negeri Kendari, kata Fianus lantang.

Ketua PN Mengaku “Menunggu Penilaian MA”
Fianus juga mengungkap bahwa dalam pertemuan dengan Ketua PN Kendari, pihaknya mendapat jawaban yang dinilai tidak memuaskan. Ketua PN disebut menyatakan tidak dapat berbuat apa pun setelah penetapan dikeluarkan dan akan mengikuti hasil penilaian dari MA.

Ketua PN mengatakan, bila nanti MA menyatakan penetapan non-eksekutabel itu salah, maka ia akan mengaku salah, jelas Fianus.

Merasa dirugikan, Kopperson kini menempuh upaya hukum lanjutan dengan mengajukan perlawanan resmi atas penetapan non-eksekusi dan berkomitmen mengawal perkara hingga ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Kekecewaan atas Sikap Aparat.
Selain menyoroti aspek hukum, Fianus juga menumpahkan kekecewaan atas perlakuan aparat keamanan yang dinilai tidak transparan saat para relawan berupaya menyampaikan aspirasi di halaman PN Kendari. Ia menuding terjadi inkonsistensi informasi mengenai kehadiran Ketua PN saat mereka hendak melakukan audiensi.

Kami relawan keadilan merasa dibodohi. Awalnya pihak keamanan bilang Ketua PN ada, tapi setelah kami desak, dikatakan beliau tidak ada. Padahal ada di atas, keluhnya.

Meski merasa diperlakukan tidak adil, Fianus menegaskan bahwa para relawan tetap menempuh cara yang sah dan tertib.

Baca Juga:  Irjen Pol Dwi Irianto, S.I.K., M.Si Membuka Secara Langsung Kegiatan Post Assessment dan Pelatihan Peer Konseling Polda Sultra TA.2024

Kami datang dengan tertib dan elegan. Tidak seperti pihak lawan yang turun ke jalan membawa senjata tajam. Kami akan berjuang sampai titik penghabisan. Ketua Pengadilan Negeri Kendari harus mundur begitu juga Ketua Pengadilan Tinggi harus mundur,  serunya.

Latar Belakang Singkat: Kasus Tapak Kuda.
Kawasan Tapak Kuda di Kendari bukanlah lahan biasa. Wilayah ini sudah lama menjadi sumber sengketa hukum antara Kopperson dan sejumlah pihak yang mengklaim kepemilikan atas aset eks-HGU (Hak Guna Usaha).
Pada tahun 2018, PN Kendari sempat mengeluarkan penetapan sita eksekusi, yang kemudian dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Namun, pelaksanaan eksekusi di lapangan tidak pernah benar-benar tuntas karena adanya resistensi sosial dari sebagian warga dan pihak yang menolak penetapan tersebut.

Penetapan baru yang menyatakan status non-eksekusi atas putusan inkrah itu pun menjadi titik balik. Pihak Kopperson menilai langkah itu mencederai asas finalitas dan kepastian hukum, sedangkan pihak pengadilan berdalih ada pertimbangan faktual di lapangan  termasuk potensi konflik dan ketidakjelasan batas objek sengketa.

Jalan Panjang Mencari Keadilan
Kasus ini kembali menegaskan betapa rumitnya eksekusi putusan pengadilan di Indonesia, terutama yang menyangkut aset lahan dan kepemilikan masyarakat. Di satu sisi, hukum menjamin pelaksanaan putusan yang sudah final. Namun di sisi lain, pertimbangan keamanan, sosial, dan politik lokal sering kali menjadi alasan pengadilan menunda atau bahkan menolak eksekusi.

Baca Juga:  Dr. Herman, S.H., LL.M Ditunjuk Jadi Plt Rektor Universitas Halu Oleo Kendari oleh Kemendiktisaintek

Kini, semua pihak menunggu langkah Mahkamah Agung untuk menilai apakah keputusan non-eksekusi PN Kendari memiliki dasar hukum yang kuat, atau justru melanggar prinsip putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Kami tidak akan berhenti sampai hukum ditegakkan sepenuhnya, pungkas Fianus Arung.

Langkah Pengawasan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan pengawasan terhadap seluruh badan peradilan di bawahnya. Jika ditemukan dugaan pelanggaran etik atau maladministrasi dalam penerbitan penetapan pengadilan, MA dapat:

1. Memerintahkan pemeriksaan etik oleh Badan Pengawas (Bawas MA);

2. Memberi sanksi administratif hingga pemberhentian sementara pejabat pengadilan;

3. Membatalkan atau memperbaiki penetapan yang dinilai bertentangan dengan asas hukum tetap.

Langkah pengawasan semacam ini lazim ditempuh dalam kasus di mana penetapan pengadilan menimbulkan gejolak publik atau dianggap menyimpang dari putusan hukum yang telah final.

Catatan Redaksi.
Kasus Tapak Kuda menjadi cerminan bagaimana perjuangan menegakkan hukum tidak selalu berakhir di meja sidang. Ketika proses hukum bersinggungan dengan kepentingan sosial dan ekonomi, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan menjadi taruhan.
Perkara ini bukan hanya tentang siapa yang berhak atas sebidang tanah  tetapi tentang bagaimana negara menjamin keadilan ditegakkan tanpa tebang pilih.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar