Jakarta– Lumbungsuaraindonesia.com
Di ruang rapat Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berbicara dengan nada tegas: “Pemerintah tidak akan menggunakan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Itu tanggung jawab korporasi, bukan Negara.
Pernyataan yang disampaikan pada pekan kedua Oktober itu segera bergaung di media, menandai babak baru dari proyek infrastruktur paling kontroversial dekade ini, Kereta Cepat Whoosh.
Proyek Ambisius yang Membengkak
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) diluncurkan dengan gegap gempita pada 2016. Saat itu, Indonesia berambisi memasuki era baru transportasi modern, menghubungkan dua kota besar dengan kecepatan 350 km/jam. Namun, di balik gemerlap peluncuran dan slogan “Whoosh”, tumpukan utang mulai menggunung.
Konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang mengelola proyek ini terdiri dari BUMN Indonesia dan perusahaan China, dengan porsi pembiayaan sekitar 75 persen berasal dari pinjaman luar negeri, terutama dari China Development Bank (CDB). Biaya proyek yang semula ditaksir sekitar US$6,07 miliar kini melonjak menjadi lebih dari US$7,3 miliar atau setara Rp.116 triliun.
Masalahnya, pendapatan operasional dari penumpang jauh dari proyeksi. Studi awal memprediksi jumlah pengguna harian bisa menembus 60 ribu orang, namun hingga pertengahan 2025, angka riilnya baru sekitar 25–30 ribu penumpang per hari. Akibatnya, kemampuan KCIC membayar cicilan pinjaman pun tertekan.
SIDE BOX: DATA WHOOSH
Komponen Angka Perkiraan.
Total biaya proyek ± US$7,3 miliar (Rp116 triliun)
Pinjaman luar negeri (CDB) ± 75% dari total proyek
Jumlah penumpang per hari (2025) ± 25–30 ribu
Target awal penumpang (studi 2016) 60 ribu
Bunga pinjaman 2%–3,5% per tahun
Porsi saham Indonesia–China 60:40
Operator proyek PT KCIC (melalui PSBI & BPI Danantara)
Menkeu Purbaya: “Jangan Sentuh APBN”
Dalam pernyataannya kepada media, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan sikap fiskal yang keras:
KCIC adalah entitas bisnis. Pemerintah tidak akan menanggung kewajiban utang mereka menggunakan APBN. Ini bukan proyek yang dijamin negara secara penuh.
(CNN Indonesia, 11 Oktober 2025)
Ia menjelaskan bahwa proyek KCIC kini berada di bawah payung BPI Danantara, Perusahaan induk yang mengelola investasi pemerintah pada sektor infrastruktur strategis dan dengan demikian, tanggung jawab pembayaran utang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme bisnis dan manajemen konsorsium, bukan lewat uang rakyat.
Sikap ini menegaskan garis baru dalam kebijakan fiskal: setelah era pembangunan masif di bawah pemerintahan sebelumnya yang kerap melibatkan BUMN dan jaminan negara, Kemenkeu kini tampak lebih hati-hati menghadapi risiko contingent liabilities (potensi utang tersembunyi negara).
Politik dan Akuntabilitas : Siapa yang Bertanggung Jawab.
Penolakan Menkeu bukan hanya soal angka di neraca. Ia juga mencerminkan ketegangan politik yang lebih luas.
Proyek Whoosh adalah “Anak Kandung” dari kerja sama strategis Indonesia–China di bawah skema Belt and Road Initiative (BRI). Di mata publik, proyek ini dulu dikaitkan erat dengan ambisi infrastruktur pemerintahan Jokowi. Kini, saat beban finansial membengkak, muncul pertanyaan: siapa yang akan menanggung akibatnya?
Anggota Komisi XI DPR mulai menyerukan audit menyeluruh terhadap proyek KCIC. Beberapa partai oposisi bahkan menuduh pemerintah lalai mengawasi pembengkakan biaya. Di sisi lain, BUMN yang terlibat seperti PT KAI dan PT Wijaya Karya (WIKA) menghadapi tekanan finansial akibat keterlibatan dalam konsorsium tersebut.
Kalau proyeknya tak bisa menutup biaya, BUMN bisa tekor, ujung-ujungnya juga minta penyertaan modal negara. Itu sama saja dengan APBN juga yang bayar, ujar salah satu anggota DPR dari fraksi oposisi.
Bagi Purbaya, prinsipnya jelas: transparansi dan disiplin fiskal lebih penting dari sekadar menjaga citra politik proyek besar. Namun posisi ini juga rawan serangan politik, karena dapat ditafsirkan sebagai “melepaskan tanggung jawab negara terhadap proyek strategis”.
Efek Ekonomi: Antara Risiko dan Peluang.
1. Ruang fiskal tetap aman, tapi risiko BUMN meningkat.
Dengan menolak penggunaan APBN, Kemenkeu berhasil menahan tekanan langsung terhadap defisit anggaran. Belanja publik untuk subsidi, pendidikan, dan infrastruktur baru tidak perlu terganggu. Namun, tekanan justru berpindah ke BUMN yang menjadi pemegang saham KCIC.
Jika PT KAI atau entitas lain menanggung rugi besar, mereka mungkin membutuhkan penyertaan modal tambahan di masa depan — dan secara tidak langsung, itu tetap membebani fiskal negara. Dalam jangka menengah, pemerintah tetap harus menyiapkan strategi untuk menghindari efek domino keuangan di sektor BUMN.
2. Dampak ekonomi regional.
Kereta cepat telah menciptakan geliat ekonomi di koridor Jakarta–Bandung: dari kawasan transit di Tegalluar, hotel, hingga usaha mikro di sekitar stasiun. Namun jika restrukturisasi utang menyebabkan pengurangan operasi atau efisiensi berlebihan, aktivitas ekonomi lokal bisa melambat.
Sebaliknya, bila proyek berhasil distabilkan dengan restrukturisasi yang sehat, Whoosh berpotensi tetap menjadi lokomotif pertumbuhan di kawasan Jawa Barat.
3. Sinyal fiskal bagi investor.
Di mata pelaku pasar, keputusan Menkeu justru memberi sinyal disiplin fiskal. Indonesia menunjukkan kehati-hatian dalam menjaga defisit dan tidak menyeret APBN ke dalam risiko proyek komersial.
“Investor global akan melihat ini sebagai komitmen terhadap stabilitas fiskal,” ujar Ekonom Bank Mandiri, Dendi Ramdani, kepada media.
Namun, ada sisi lain: jika pemerintah terlalu kaku tanpa menawarkan solusi konkret bagi kreditur, hal itu dapat menimbulkan kesan ketidakpastian bagi mitra asing dalam proyek infrastruktur berikutnya.
Hubungan Internasional : Menjaga Kepercayaan di Tengah Bayangan BRI
Proyek Whoosh tak hanya urusan ekonomi domestik, melainkan juga simbol hubungan bilateral dengan China. Sebagai bagian dari Belt and Road Initiative, proyek ini sempat dijadikan etalase keberhasilan kerja sama Jakarta–Beijing. Kini, dengan isu utang yang membengkak, dinamika hubungan tersebut kembali diuji.
Menurut laporan The Australian, lembaga keuangan China kini berhati-hati terhadap proyek BRI di Asia Tenggara, setelah melihat sejumlah proyek serupa di negara lain mengalami kesulitan pembayaran. Cara Indonesia menangani krisis Whoosh akan menjadi indikator penting: apakah bisa menjadi contoh keberhasilan restrukturisasi yang tertib, atau justru menambah daftar proyek BRI yang bermasalah.
Dari sisi diplomasi, pemerintah harus menjaga keseimbangan: menolak intervensi fiskal, namun tetap menghormati komitmen kontraktual dan menjaga reputasi negara di mata investor China dan kreditur global.
SIDE BOX: DIMENSI INTERNASIONAL
Aspek Keterangan
Kreditur utama China Development Bank (CDB)
Skema proyek Belt and Road Initiative (BRI)
Tantangan global Risiko utang infrastruktur BRI di Asia Tenggara meningkat
Implikasi reputasi Indonesia dinilai “test case” bagi model BRI yang berkelanjutan
Reaksi investor Hati-hati tapi tetap positif terhadap disiplin fiskal RI
Skenario Jalan Keluar
1. Restrukturisasi Korporat (Opsi Terbaik) KCIC dan BPI Danantara dapat menegosiasikan ulang tenor dan bunga pinjaman dengan CDB, sambil memperbaiki model bisnis operasional Whoosh agar lebih efisien dan menarik pengguna.
Keuntungan: Beban APBN nol, kreditor tetap dilibatkan.
Risiko: Perlu negosiasi intensif dengan China dan pemegang saham domestik.
2. Masuknya Investor Baru Pemerintah dapat membuka peluang investor swasta untuk mengambil alih sebagian saham atau aset.
Keuntungan: Tambahan modal segar, efisiensi manajemen.
Risiko: Valuasi aset rendah, kontrol nasional bisa berkurang.
3. Bailout Terselubung Pemerintah memberi dukungan tak langsung melalui penyertaan modal ke BUMN atau penjaminan.
Keuntungan: Menjaga stabilitas jangka pendek.
Risiko: Menurunkan kredibilitas disiplin fiskal.
4. Default Terbatas Jika negosiasi gagal, opsi paling ekstrem adalah restrukturisasi besar-besaran dengan konversi utang menjadi saham.
Keuntungan : Menyelesaikan utang.
Risiko: Dampak reputasi tinggi di mata investor global.
Pelajaran dan Jalan ke Depan.
Kasus Whoosh memberikan pelajaran penting bagi tata kelola infrastruktur Indonesia.
Pertama, studi kelayakan dan proyeksi pendapatan harus realistis, bukan hanya berbasis euforia pembangunan.
Kedua, risiko keuangan harus ditanggung secara proporsional antara pemerintah dan mitra swasta, dengan transparansi penuh.
Ketiga, kebijakan fiskal yang disiplin tidak boleh diartikan sebagai penarikan diri dari tanggung jawab sosial — melainkan sebagai dorongan untuk memperbaiki tata kelola.
Jangan salah tafsir,” ujar Purbaya di akhir pernyataannya.
Kami tidak lari dari tanggung jawab. Tapi tanggung jawab itu harus diselesaikan lewat mekanisme bisnis yang sehat, bukan dengan menambah beban rakyat.”
Penutup : Antara Kebanggaan dan Beban
Kereta cepat Whoosh tetap menjadi simbol kemajuan teknologi transportasi Indonesia namun juga simbol dari ujian besar dalam pengelolaan utang dan kemitraan internasional.
Langkah Menkeu menolak membayar utang lewat APBN adalah keputusan sulit namun strategis: menjaga kredibilitas fiskal di tengah badai politik dan tekanan internasional.
Jika restrukturisasi berjalan transparan dan efisien, Indonesia bisa keluar dari krisis ini dengan kepala tegak — bukan hanya karena berhasil membangun kereta cepat, tapi karena belajar menyeimbangkan ambisi dan kehati-hatian.
Pembangunan harus maju,” kata seorang ekonom senior, “tapi utang tidak boleh jadi rel yang menjerumuskan bangsa ke jurang fiskal.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.





Komentar