Pandawara Ajak Publik Patungan Beli Hutan: Ketika Warga Mengambil Alih Peran Negara Menjaga Kawasan Hutan

News9 views

Sultra//Lumbungsuaraindonesia.com
Ajakan Pandawara Group kepada publik untuk patungan membeli hutan tidak sekadar gagasan kreatif anak muda. Di baliknya, tersimpan kritik mendasar terhadap tata kelola kehutanan di Indonesia—sebuah sektor yang selama puluhan tahun diwarnai konflik agraria, perampasan wilayah adat, dan lemahnya perlindungan hutan alam.

Melalui unggahan di media sosial, Pandawara mengajak masyarakat mengumpulkan dana untuk membeli kawasan hutan yang terancam rusak akibat alih fungsi lahan dan eksploitasi. Tujuannya jelas: menjaga hutan tetap lestari, di luar kepentingan industri ekstraktif.

Ajakan ini sontak menuai dukungan luas. Namun, ia juga membuka pertanyaan yang lebih dalam: mengapa warga harus patungan membeli hutan, sementara konstitusi menegaskan bahwa negara wajib melindungi sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Hutan di Antara Konstitusi dan Kepentingan Investasi

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam praktiknya, prinsip tersebut kerap bertabrakan dengan kebijakan pemberian izin konsesi skala besar.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan jutaan hektare kawasan hutan telah dibebani izin usaha, mulai dari HPH, HTI, tambang, hingga perkebunan sawit. Dalam banyak kasus, izin tersebut tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal.

Baca Juga:  Jalin Silaturrahim yang Kuat, Kakanwil Kemenkumham Sultra ajak Insan Media Buka Bersama.

Ajakan Pandawara membeli hutan dapat dibaca sebagai bentuk kegelisahan publik terhadap model penguasaan hutan yang terlalu berpihak pada korporasi, sementara perlindungan ekosistem dan hak masyarakat sering kali menjadi korban.

“Ketika hutan diperlakukan sebagai komoditas, maka yang terjadi adalah eksploitasi. Warga akhirnya mencari cara sendiri untuk menyelamatkan ruang hidupnya,” ujar seorang pegiat lingkungan.

Patungan Membeli Hutan dan Kekosongan Perlindungan Negara

Dalam konteks hukum, patungan membeli hutan bukan tanpa persoalan. Status kawasan hutan di Indonesia diatur ketat oleh negara. Kawasan hutan pada prinsipnya tidak diperjualbelikan secara bebas, kecuali telah dilepaskan statusnya atau berada di luar kawasan hutan negara.

Namun justru di sinilah letak ironi yang disorot gerakan ini. Banyak hutan yang secara ekologi masih berfungsi baik, tetapi secara administratif telah dilepas atau dialokasikan untuk kepentingan investasi. Ketika mekanisme perlindungan negara gagal, masyarakat sipil mencoba mengambil peran, meski dengan risiko hukum yang tidak kecil.

Baca Juga:  Pengamanan Kampanye Paslon Gubernur Sultra di Zona C Muna Barat Berjalan Kondusif

Pandawara menyatakan bahwa gerakan ini tidak dimaksudkan untuk melanggar hukum, melainkan mencari celah legal agar hutan tetap terlindungi, baik melalui skema perhutanan sosial, kemitraan konservasi, maupun bentuk pengelolaan sah lainnya.

Hutan Adat yang Lama Tak Diakui

Ajakan patungan membeli hutan juga menyingkap masalah klasik: lambannya pengakuan hutan adat. Hingga kini, pengakuan hutan adat masih jauh dari target. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.

Di lapangan, banyak komunitas adat yang justru harus membeli kembali wilayah leluhur mereka sendiri atau berjuang keras melawan izin konsesi. Dalam konteks ini, gerakan Pandawara dinilai sebagian aktivis sebagai alarm keras bahwa mekanisme formal pengakuan hak adat belum berjalan efektif.

“Kalau publik sampai harus patungan beli hutan, itu menunjukkan ada yang salah dalam sistem perlindungan wilayah adat dan kawasan lindung,” kata seorang pendamping masyarakat adat.

Antara Solidaritas Publik dan Reformasi Kebijakan

Meski menuai pujian, sebagian kalangan mengingatkan bahwa patungan membeli hutan tidak boleh menjadi legitimasi pembiaran negara. Gerakan ini seharusnya dibaca sebagai tekanan moral agar pemerintah melakukan pembenahan serius terhadap kebijakan kehutanan.

Baca Juga:  Kapolda Pimpin Apel Kehormatan dan Renungan Suci di Taman Makam Pahlawan Watubangga

Reformasi tata kelola hutan—mulai dari evaluasi perizinan, perlindungan hutan alam tersisa, hingga percepatan pengakuan hutan adat—dinilai jauh lebih mendesak dibanding mengandalkan solidaritas publik semata.

Namun demikian, kehadiran Pandawara juga menunjukkan kekuatan baru dalam advokasi lingkungan: anak muda, media sosial, dan solidaritas digital yang mampu menggerakkan opini publik dengan cepat.

Gerakan Simbolik atau Titik Balik?

Patungan membeli hutan mungkin tidak akan menyelesaikan krisis kehutanan Indonesia secara struktural. Namun ia berfungsi sebagai simbol perlawanan warga terhadap sistem yang dinilai gagal melindungi ruang hidup.

Di tengah meningkatnya deforestasi, konflik agraria, dan krisis iklim, ajakan Pandawara menjadi pengingat bahwa hutan bukan sekadar aset ekonomi, melainkan fondasi kehidupan. Ketika negara abai, warga bergerak.

Pertanyaannya kini bukan sekadar apakah hutan bisa dibeli bersama, melainkan kapan negara akan benar-benar hadir untuk menjaga hutan tanpa harus didahului oleh patungan publik.

Oleh : Paman Jogja.

. . . . . . . . . . . . . . . .

Komentar