Bandara Swasta di Jantung Industri Nikel: Negara Diminta Tidak Absen” Morowali/Lumbungsuaraindonesia.com Keberadaan Bandara Khusus milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kembali menjadi sorotan setelah pejabat negara meninjau langsung fasilitas tersebut. Polemik mencuat bukan semata soal bangunan fisik, melainkan menyangkut pengawasan negara, lalu lintas tenaga kerja asing, serta legitimasi operasional bandara swasta di kawasan industri strategis.
Pihak IMIP menegaskan bahwa bandara tersebut resmi terdaftar di Kementerian Perhubungan dan berstatus “bandara khusus” untuk kepentingan internal perusahaan. Manajemen menyatakan operasional dilakukan sesuai Undang-Undang Penerbangan dan tidak dibuka untuk publik umum.
Melalui Direktur Komunikasinya Emilia Bassar, menyatakan bahwa Bandara IMIP adalah “bandara khusus” yang telah terdaftar di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), sesuai regulasi penerbangan: UU No. 1 Tahun 2009.
Sementara itu, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga menyampaikan bahwa Bandara IMIP telah tercatat secara administratif dan berada dalam lingkup pengawasan otoritas bandara wilayah. “Tidak mungkin sebuah bandara beroperasi jika tidak terdaftar,” demikian pernyataan pejabat Kemenhub dalam keterangan resminya.
Namun sorotan menguat setelah Menteri Pertahanan menyampaikan bahwa bandara tersebut sempat beroperasi tanpa kehadiran institusi negara seperti bea cukai dan imigrasi. Dalam kunjungan lapangan, ia menegaskan,
“Tidak boleh ada republik di dalam republik. Semua fasilitas strategis harus berada di bawah kendali negara.”
Dari kalangan pengamat penerbangan, bandara khusus dinilai sah secara hukum selama tak melayani penerbangan komersial. Namun mereka mengingatkan, ukuran legalitas tidak berhenti pada izin. Yang lebih penting adalah pengawasan aktif terhadap orang, barang, dan pesawat.
Sementara itu, aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat sipil menilai bandara ini menambah beban kawasan industri yang sudah padat. Mereka mendesak agar aktivitas penerbangan dibuka secara publik dan diaudit lingkungan secara berkala.
“Kita bukan menolak pembangunan, tapi menolak pembangunan yang tertutup dan sulit diawasi, ujar seorang pegiat lingkungan Sulawesi Tengah yang tidak mau disebut namanya.
Dengan ribuan pekerja dan ratusan penerbangan tercatat setiap tahun, Bandara IMIP kini berada di titik krusial: di satu sisi menggerakkan industri, di sisi lain menguji ketegasan negara dalam menjaga kedaulatan ruang udara dan transparansi investasi.
Publik kini menunggu satu hal: bukan sekadar pernyataan resmi, melainkan kehadiran negara secara nyata di landasan industri.
Kesimpulan Singkat.
Bandara IMIP kini secara resmi diakui dan tercatat di pemerintah. Namun legitimasi formal saja tidak otomatis menuntaskan semua persoalan: pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas tetap menjadi sorotan, terutama mengingat sejarah operasional tanpa pengawasan negara, volume penumpang yang besar, dan potensi rute internasional di masa datang.
Bagi warga Morowali, pemerintah, dan pihak industri, situasi ini menegaskan sebuah pelajaran penting: pembangunan infrastruktur industri sekecil apapun sangat butuh keseriusan regulasi dan konsistensi pengawasan.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.




Komentar