Pergantian Ketua DPRD Sultra : Koreksi Politik atau Bagi – bagi Kekuasaan

News194 views

Kendari/Lumbungsuaraindonesia.com   Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Sulawesi Tenggara kembali menggemparkan publik politik lokal dengan menerbitkan surat bernomor 134-SI/DPW-Nasdem/SULTRA/X/2025 tertanggal Selasa, 25 November 2025, yang ditujukan kepada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem. Surat tersebut secara resmi mengusulkan pergantian Ketua DPRD Sulawesi Tenggara dan Ketua Fraksi Partai NasDem di DPRD provinsi.

Dalam surat tersebut, jabatan Ketua DPRD Sultra yang sebelumnya dipegang oleh La Ode Tariala, S.Pd., diusulkan untuk digantikan oleh Syahrul Said. Sementara itu, posisi Ketua Fraksi NasDem yang semula dijabat Sudarmanto, diusulkan digantikan oleh H. Suparjo.

Pergantian ini sontak menimbulkan gelombang reaksi di ruang publik. Bukan semata soal rotasi jabatan, tetapi menyentuh persoalan integritas kelembagaan DPRD dan independensi politik wakil rakyat terhadap kekuasaan eksekutif.

Partai politik, termasuk NasDem, memang memiliki kewenangan struktural untuk menempatkan kadernya di jabatan parlemen. Namun kewenangan itu tidak boleh berubah menjadi alat dominasi politik terhadap lembaga rakyat. DPRD bukan panggung sandiwara partai, melainkan benteng demokrasi.

Lebih jauh, pergantian Ketua DPRD tanpa transparansi berpotensi mencederai prinsip akuntabilitas. Rakyat berhak tahu siapa yang dinilai gagal, siapa yang dianggap layak, dan alasan politik apa yang mendasarinya. Demokrasi tidak tumbuh dari ruang gelap, tetapi dari keterbukaan.

Baca Juga:  Debat Perdana, ASR - Hugua Paparkan tentang Prioritas Utama Ciptakan SDM Unggul

Sulawesi Tenggara tidak kekurangan politisi. Yang langka adalah Negarawan daerah. Figur yang berani mengatakan “tidak” kepada kekuasaan ketika kebijakan menyimpang, yang mampu berdiri sendiri tanpa harus menengadah kepada partai atau menunduk kepada pemerintah.

Jika Ketua DPRD baru nantinya hanya menjadi pengganti simbolik, tanpa perubahan arah, keberanian, dan sikap politik, maka pergantian ini patut dianggap sia-sia. Bahkan berbahaya.

Demokrasi daerah tidak hanya ditentukan oleh siapa yang menang pemilu, tetapi oleh siapa yang berani menjaga kejujuran kekuasaan. Dan publik Sultra hari ini sedang menguji keberanian itu.

DPRD Dinilai Kehilangan Daya Kritik.
Selama kurang lebih 13 bulan menjabat sebagai Ketua DPRD Sultra, figur La Ode Tariala ramai diperbincangkan publik karena dianggap memiliki kedekatan yang berlebihan dengan lingkar kekuasaan daerah. Alih-alih tampil sebagai pengimbang dan pengontrol jalannya pemerintahan, DPRD justru dinilai semakin kehilangan taring politiknya.

Sejumlah aktivis dan pemerhati kebijakan publik menyoroti bahwa DPRD Sultra dalam satu tahun terakhir nyaris tak terdengar lantang menyuarakan kritik terhadap kebijakan strategis daerah, mulai dari tata kelola anggaran, kebijakan perizinan pertambangan, hingga persoalan lingkungan dan konflik agraria.

Baca Juga:  Apel Konsolidasi Pengamanan Kampanye Dialogis di Konawe Utara Berjalan Lancar

Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah DPRD masih berdiri sebagai representasi rakyat, atau justru telah bertransformasi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif?

Hubungan harmonis antara DPRD dan pemerintah memang penting, tetapi jika harmoni membunuh kritik, maka yang lahir bukan stabilitas, melainkan pembusukan demokrasi, ujar seorang pengamat politik Sultra kepada media ini.

Secara struktural, usulan pergantian pimpinan DPRD oleh partai memang dimungkinkan dalam sistem kepartaian Indonesia. Namun dalam konteks Sultra, langkah DPW NasDem tersebut dinilai tak sekadar berbasis evaluasi kinerja organisasi, melainkan sarat dengan sinyal konsolidasi politik kekuasaan dan aspek lainnya, tentunya hal tersebut hanya Nasdek Sultra yang tau.

Pergantian mendadak ini menimbulkan spekulasi bahwa “kedekatan politik” kini justru menjadi beban elektoral dan internal bagi partai, terlebih di tengah tekanan publik agar parlemen daerah tampil lebih kritis dan progresif.

Siapa pun figur yang diusulkan, publik berharap pergantian ini bukan sekadar perpindahan kursi, melainkan menjadi titik balik untuk mengembalikan marwah DPRD sebagai lembaga yang seharusnya berdiri tegak di atas kepentingan rakyat, bukan tunduk pada kekuasaan.

Tiga Fungsi DPRD yang Mandek.
Secara konstiusi.
Secara konstitusional, DPRD memiliki tiga fungsi utama:
1. Fungsi legislasi – membentuk peraturan daerah yang berpihak kepada publik,
2. Fungsi anggaran – mengawal APBD agar tidak menjadi bancakan politik,
3. Fungsi pengawasan – mengontrol jalannya pemerintahan daerah secara tegas dan berani.

Baca Juga:  Aksi Para Sopir Dump Truck bermuatan Sampah Parkirkan Mobilnya Depan Kantor BPKAD Konawe, Akibat dari Gaji belum Terbayar.

Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketiga fungsi itu cenderung mandek. Produk legislasi minim terobosan, pengawasan lemah, dan rapat-rapat dewan kerap berujung seremonial belaka. Dampaknya, kebijakan publik berjalan tanpa koreksi signifikan dan masyarakat kehilangan saluran kritik yang sah.

Hingga berita ini diterbitkan, DPW NasDem Sultra belum memberikan keterangan resmi kepada publik terkait alasan evaluasi terhadap Ketua DPRD dan Ketua Fraksi Partai NasDem. Pihak La Ode Tariala juga belum menyampaikan pernyataan terbuka atas wacana pergantian tersebut.

Ketiadaan keterbukaan ini justru memperbesar ruang tafsir publik bahwa pergantian ini lebih banyak ditentukan oleh kepentingan elit, bukan oleh suara konstituen.

Pergantian pimpinan DPRD sejatinya bukan sekadar urusan internal partai.  Jika DPRD terus diperlakukan hanya sebagai alat kompromi kekuasaan, maka demokrasi daerah tinggal nama.

Pergantian ini, jika tidak disertai perubahan orientasi politik, hanya akan menjadi peristiwa administratif tanpa makna substansial.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar