6 Guru Besar UHO Kendari Menguak Naskah “Miratut Tamam”: Penyelidikan atas Naskah Hukum Kesultanan Buton yang Hampir Hilang

News41 views

Kendari/Lumbungsuaraindonesia.com Pada sebuah ruang penyimpanan sederhana di Tarafu, Baubau, lembar-lembar kertas berusia ratusan tahun itu tersimpan dalam kondisi jauh dari standar konservasi modern. Tidak ada pengontrol suhu, tidak ada lembar pelindung bebas asam, dan sebagian halaman tampak mulai keropos. Naskah berjudul Miratut Tamam  sumber hukum tertinggi Kesultanan Buton pada masa lalu berada di ambang risiko kerusakan permanen.

Namun, justru dari kondisi genting inilah, enam Guru Besar Universitas Halu Oleo (UHO) bergerak melakukan penelitian filologi intensif. Tugas mereka bukan sekadar membaca manuskrip tua, tetapi menyelamatkan warisan hukum dan identitas sebuah peradaban maritim yang nyaris terlupakan.

Jejak Naskah yang Terpisah dari Arsip Negara.
Satu isu utama yang terungkap dalam penelitian ini adalah:
mengapa naskah sepenting Miratut Tamam tidak berada di tangan lembaga arsip Negara atau badan konservasi resmi?

Naskah tersebut justru tersimpan di tangan seorang tokoh adat La Ode Abdul Muzakir, Lakina Agama Kesultanan Buton  yang memegang tanggung jawab tradisional, tetapi bukan institusi konservasi.

Fakta ini memunculkan pertanyaan kritis:
Apakah negara mengetahui keberadaan naskah ini?

Mengapa naskah hukum kesultanan tidak terpelihara dalam arsip resmi?

Berapa banyak manuskrip Buton lain yang hilang, dijual, atau rusak tanpa dokumentasi?

Baca Juga:  Gelar Pengantar Purna Tugas, Kapolri Sebut Jenderal (HOR) Agus Andrianto Sosok yang Tegas

Dalam percakapan tidak resmi dengan tim peneliti, disebutkan bahwa sejumlah naskah Buton lain diduga telah berpindah ke kolektor pribadi di luar daerah, bahkan luar negeri. Tidak ada basis data publik yang mencatat keberadaannya.

Ancaman Kerusakan: Kertas Eropa yang Tidak Lagi Tahan Waktu.
Manuskrip Miratut Tamam ditulis di atas kertas Eropa ber-cap Propatria  cap yang dikenal digunakan pada kertas impor abad ke -17 hingga ke -19. Meskipun relatif kuat, kertas ini rentan lapuk bila disimpan dalam kondisi lembap.

Temuan fisik tim peneliti menunjukkan:
* Kerusakan signifikan pada halaman awal,
*Nda kelembapan pada beberapa lembar,
* Jejak peluruhan tinta pada bagian pinggir naskah.

Kondisi ini membuat filologi bukan hanya kajian teks, tetapi perlombaan melawan waktu.

Jika dua puluh tahun lagi tidak diselamatkan, sebagian teks mungkin akan hilang,.ujar seorang anggota tim yang enggan disebutkan namanya karena menyangkut isu pengelolaan warisan budaya.

Isi Teks: Hukum, Adat, dan Struktur Kekuasaan Buton.
Bagian paling menarik dari investigasi ilmiah ini bukan hanya isi naskah, tetapi apa yang dapat disimpulkan tentang sistem kekuasaan Kesultanan Buton.

Dalam teks ditemukan:
– Aturan pengangkatan pejabat adat,
– Relasi antara sultan dan aparat kosara,
– Transkrip ajaran sufistik (Martabat Tujuh) sebagai dasar hukum negara,
– Hingga sejarah Islamisasi Buton.

Baca Juga:  Yudhianto Mahardika Resmi Pimpin Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) Sulawesi Tenggara.

Beberapa ketentuan yang tercatat dalam naskah membuka kemungkinan bahwa Kesultanan Buton mengadopsi sistem hukum yang lebih kompleks dibanding narasi populer sejarah lokal selama ini.

Penutup teks yang menegaskan otoritas penurunan nama pegawai adat mengindikasikan sentralisasi kekuasaan tertentu  sebuah temuan yang bisa memperkaya debat akademik tentang politik kerajaan tradisional di Sulawesi.

Di Balik Teks: Interogasi atas Sejarah yang Dinormalisasi.
Investigasi tim mengungkapkan bahwa selama puluhan tahun, cerita mengenai hukum adat Buton banyak bersandar pada tradisi lisan dan dokumen yang berserakan. Miratut Tamam menjadi bukti dokumenter yang menantang sejumlah narasi.

Contohnya:
Apakah konsep Sarana Wolio selama ini dipahami secara tepat?

Apakah ajaran Martabat Tujuh memang menjadi fondasi hukum negara?

Sejauh mana Islam memengaruhi struktur politik Buton?

Naskah ini membuka kemungkinan revisi sejarah, dan revisi selalu mengandung ketegangan — terutama ketika teks-teks tua menyentuh ranah identitas etnis dan legitimasi adat.

Siapa yang Bertanggung Jawab atas Perlindungan Manuskrip?

Poin penting dalam laporan investigatif ini adalah persoalan akuntabilitas:
Apakah pemerintah daerah Baubau atau Sulawesi Tenggara memiliki program pelestarian naskah kuno?
Mengapa perguruan tinggi justru yang bergerak lebih dahulu?
Apakah ada risiko politisasi hasil penelitian?

Baca Juga:  Kapolri dan Panglima Cek Kesiapan Pengamanan Pilkada Serentak di Jatim

Hingga laporan ini disusun, tidak ada kebijakan yang jelas mengenai standardisasi dokumentasi manuskrip Buton.

Para akademisi berharap penelitian ini menjadi alarm. Tidak cukup hanya mempublikasikan hasil filologi; negara harus turun tangan.

Generasi Muda dan Masa Depan Warisan Hukum.
Di tengah derasnya arus modernisasi, naskah semacam ini sering dianggap tidak relevan. Namun bagi Buton, Miratut Tamam bukan hanya teks  ia adalah dokumen konstitusional yang menunjukkan bahwa Buton pernah memiliki sistem hukum yang teratur, berlapis, dan tertulis.

Filologi bukan nostalgia.
Ini adalah penyelidikan terhadap struktur pengetahuan yang membentuk masa lalu, dan karenanya ikut membentuk masa depan.

Kalau kita kehilangan naskah seperti ini, kita kehilangan peta intelektual bangsa, kata Prof. La Niampe.

Penutup :
Naskah yang Menunggu Diselamatkan

Seperti banyak manuskrip Nusantara lainnya, Miratut Tamam berdiri di antara dua kemungkinan:
diangkat ke permukaan dan menjadi bukti kebesaran Buton, atau hilang pelan-pelan dalam keheningan gudang penyimpanan adat.

Enam Guru Besar UHO telah melakukan bagiannya.
Pertanyaannya kini:
siapa yang akan mengambil langkah berikutnya?

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar