Fisip UHO Kendari Perkuat Pemahaman Demokrasi Melalui Kuliah Praktisi

News20 views

Kendari/Lumbungsuaraindonesia.com
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO) menghubungkan teori politik di ruang kuliah dengan realitas politik di lapangan melalui kegiatan Soft Skill dan Kuliah Praktisi bertajuk “Kontribusi Partai Politik dalam Pembangunan Demokrasi di Indonesia”.

Kegiatan yang berlangsung di Aula Bahtiar FISIP UHO baru-baru ini menghadirkan dua narasumber dari dunia politik dan Akademik.

Endang, Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Tenggara, menegaskan bahwa partai politik tidak boleh dipandang semata sebagai kendaraan menuju kekuasaan.

Partai politik adalah institusi pendidikan politik, rekruitmen pemimpin, sekaligus penyalur aspirasi masyarakat, katanya, Jum’at (26/9/2025).

Menggugat Peran Partai Politik di Ruang Akademik: Catatan Kritis dari FISIP UHO

Kendari — Kuliah praktisi bertema “Kontribusi Partai Politik dalam Pembangunan Demokrasi di Indonesia” yang digelar FISIP Universitas Halu Oleo mungkin tampak seperti agenda rutin kampus. Namun, di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga politik, forum ini justru menjadi ruang penting untuk mempertanyakan kembali sejauh mana partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi.

Baca Juga:  Bupati Konut Bersama Forkopimda Menggelar Apel Bersama Jelang Kesiapan Pemilu 2024

Janji Partai Politik : Idealitas yang Selalu Menggantung
Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Tenggara, Endang, tampil membawa narasi klasik tentang fungsi partai politik: pendidikan politik, rekrutmen kader, dan penyalur aspirasi.

Partai politik adalah institusi pendidikan politik, rekrutmen pemimpin, sekaligus penyalur aspirasi masyarakat,” katanya, Jumat (26/9/2025).

Pernyataan ini tentu benar di atas kertas. Namun, justru inilah titik kritiknya: fungsi-fungsi tersebut sering kali hanya menjadi slogan normatif. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan politik lebih sering diabaikan, rekrutmen kader berjalan tanpa transparansi, dan aspirasi masyarakat kerap tenggelam di antara kepentingan elite.

Endang menyinggung pentingnya integritas kader. Namun publik justru berulang kali menyaksikan kasus korupsi, politik uang, dan konflik internal partai yang menunjukkan rapuhnya kualitas kepemimpinan politik. Pertanyaan krusialnya: bagaimana partai memastikan integritas, ketika mekanisme internal mereka sendiri sering tidak demokratis?

Baca Juga:  Kapolri Tegaskan TNI - Polri tetap Solid Usai Insiden Penyerangan Mapolres Tarakan

Akademisi Mengingatkan : Demokrasi Tidak Bisa Hanya Mengandalkan Retorika
Sudut pandang berbeda datang dari Muh. Najib Husain, Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP UHO. Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak mungkin diperkuat tanpa analisis kritis dan berbasis bukti.

Pembangunan demokrasi adalah proses berkelanjutan. Analisis berbasis teori dan data penting untuk merumuskan perbaikan sistem, ucapnya.

Najib, dengan nada halus namun tegas, seakan mengingatkan mahasiswa bahwa politik bukan sekadar apa yang tampak—bukan hanya janji partai, baliho bertebaran, atau kontestasi yang disiarkan televisi. Ada struktur yang perlu diaudit, mekanisme yang perlu dinilai, dan kebijakan yang harus diuji secara objektif.

Ia mengajak mahasiswa untuk tidak larut dalam romantisme demokrasi, melainkan mempelajari politik sebagai sistem yang dapat gagal dan harus diperbaiki.

Mahasiswa Menyeret Diskusi pada Masalah yang Sebenarnya.
Tanya jawab menjadi momen yang mengungkap kekhawatiran generasi muda terhadap kondisi demokrasi saat ini. Pertanyaan mahasiswa tidak berputar pada hal-hal normatif, tetapi menyasar isu-isu mendasar:

Baca Juga:  Polri Menyusupkan Intelnya Kedalam Pers* Ketua Umum PJI "" Polri Sudah Tak Punya Etika Lagi.**

Mengapa partai sering gagal melawan disinformasi?
Bagaimana memastikan peran anak muda tidak hanya menjadi pemanis kampanye?

Mengapa etika politik begitu mudah dikompromikan dalam praktik sehari-hari?
Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan bahwa mahasiswa tidak sekadar ingin mendengar teori atau klaim partai; mereka ingin jawaban nyata tentang krisis-krisis demokrasi yang terus muncul.

FISIP UHO Membuka Ruang, Tapi Tantangannya Lebih Besar.
FISIP UHO berkomitmen melanjutkan program serupa dengan menghadirkan lebih banyak praktisi. Ini langkah baik. Namun perlu diakui: ruang akademik semestinya tidak hanya menjadi tempat menerima pidato politisi, tetapi juga ruang untuk mengkritik, mengajukan pertanyaan sulit, dan membongkar kegagalan sistem politik kita.

Jika forum-forum seperti ini berjalan konsisten dan tidak berhenti pada sopan santun akademik, kampus bisa menjadi tempat lahirnya generasi yang berani mempertanyakan, mengawasi, dan memperbaiki demokrasi. Bukan hanya mengulang retorika yang sudah terlalu lama menggantung di ruang publik.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar