Tambang Nikel di Pulau Kabaena : Saat Pulau Kecil Dipaksa Menanggung Beban Besar

News68 views

SultraLumbungsuarainfonesia.com
Pulau Kabaena, sebuah pulau kecil di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, selama berabad-abad menjadi ruang hidup masyarakat adat Moronene dan komunitas bahari Suku Bajo. Laut dan hutan yang melingkupi pulau ini menyediakan sumber pangan, air, dan penghidupan. Namun sejak dua dekade terakhir, wajah Kabaena berubah. Kehadiran tambang nikel menggerus hutan, mencemari laut, dan kini mengancam eksistensi pulau itu sendiri.

Konsesi Tambang Meluas Hingga 73%
Data WALHI Sultra dan Satya Bumi menunjukkan sekitar 73% dari luas Kabaena (± 650 km² dari total 891 km²) telah diberikan kepada perusahaan tambang. Beberapa di antaranya: PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), PT Cahaya Kabaena Nikel (CKN), PT Amindo, PT Arga Morini Indah (AMI), PT Timah Investasi Mineral, dan PT Trias Jaya Agung.

Kerusakan terbesar tercatat berupa deforestasi. PT TMS, misalnya, disebut membuka 295 hektar hutan dalam tiga tahun terakhir, sebagian di kawasan hutan lindung yang menjadi sumber air bersih. Di wilayah pesisir, Nelayan Kabaena Barat melaporkan pencemaran laut yang membuat tangkapan ikan merosot dan keramba rumput laut rusak.

Status Pulau Kecil dan Putusan MK.
Secara hukum, Pulau Kabaena termasuk kategori pulau kecil. Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas ≤ 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Dengan luas sekitar 891 km², Kabaena jelas masuk kategori ini.

Baca Juga:  Satgas Preemtif Ops Keselamatan Anoa 2025 Polda Sultra Sosialisasikan Keselamatan Lalu Lintas

Pasal 35 huruf (k) UU PWP3K secara tegas melarang kegiatan pertambangan mineral di pulau kecil. Ketentuan ini sempat digugat, namun melalui Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dan menegaskan bahwa larangan tambang di pulau kecil tetap berlaku.

Dengan demikian, aktivitas pertambangan di Kabaena sejatinya bertentangan dengan UU PWP3K dan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Ancaman Langsung ke Suku Bajo.
Suku Bajo yang dikenal sebagai “manusia laut” di Kabaena mulai kehilangan ruang hidupnya. Komunitas Bajo tinggal di rumah-rumah panggung di atas laut dan menggantungkan hidup pada hasil tangkapan ikan serta budidaya rumput laut.

Namun, aktivitas tambang di pesisir telah mengubah kondisi laut. Sedimentasi dan limbah tambang menyebabkan keruhnya perairan, merusak terumbu karang, dan menurunkan kualitas hasil laut.

Dulu kami bisa melaut dekat rumah, sekarang harus jauh ke tengah laut karena ikan berkurang. Rumput laut yang kami tanam pun banyak mati, kata seorang tetua Bajo di pesisir Kabaena Barat.

Bagi Suku Bajo, laut bukan hanya sumber penghidupan, melainkan juga bagian dari identitas dan tradisi. Hilangnya laut yang sehat berarti hilangnya warisan budaya mereka.

WALHI Sultra: Suara yang Tak Pernah Henti
Ada ironi besar di Kabaena, kekayaan alam dikeruk, tapi jalanan penuh lubang, air bersih sulit didapat, dan masyarakat hanya menerima debu dan kerusakan. Ini bukan pembangunan, tapi bentuk baru dari ketidakadilan ekologis. Andi Rahman, Direktur WALHI Sultra

Baca Juga:  Ikut Retret di Lembah Tidar, Kadin Perkuat Konsolidasi Internal untuk Menjadi Pengusaha Pejuang

Sekitar 73 persen atau 650 km² dari total 891 km² luas Kabaena sudah diberikan kepada perusahaan tambang. Padahal UU No. 1/2014 jelas melarang pertambangan di pulau kecil. WALHI Sultra & Satya Bumi

Kami dari WALHI Sultra sudah banyak menyampaikan data tentang perusahaan yang diduga menambang di kawasan hutan kepada Polda Sultra, namun tak satu pun laporan mendapat respon.

Kabaena dan Wawonii adalah contoh nyata betapa hukum lingkungan hanya berhenti di atas kertas. Negara semestinya hadir, bukan membiarkan pulau kecil ini dikorbankan demi investasi jangka pendek.

Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bentukan Presiden Prabowo Subianto menyegel lahan pertambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sultra), 11 September 2025.

Satgas memasang segel plang besi di areal TMS dengan tulisan, “Areal pertambangan PT Tonia Sejahtera seluas 172,82 hektar dalam penguasaan Pemerintah Republik Indonesia c.q Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), berdasarkan Peraturan Presiden No.5/ 2025 tentang Penertiban Hutan.”

Satgas PKH melarang segala aktivitas di kawasan itu  tanpa izin

Baca Juga:  PPK Pembangunan Pelabuhan Munse: " Berucap " Keliru Jika Di Sebut Mangkrak
Andi Rahman, Direktur Eksekutif Walh  Sultra mengkritik kinerja satgas yang terkesan setengah hati. Dia menilai, Satgas hanya melihat pelanggaran yang terjadi sebagai peluang menuntut ganti rugi dan mengabaikan aspek pidana lingkungan.

Aspek Hukum yang Dilanggar
Selain UU PWP3K, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) juga mengatur sanksi pidana bagi korporasi, pengurus perusahaan, hingga pejabat pemberi izin yang terbukti lalai atau menyalahgunakan kewenangan.

Pasal 60 dan Pasal 104 UU PPLH, misalnya, melarang pembuangan limbah ke media lingkungan tanpa izin. Pelanggaran ini diancam pidana penjara hingga 3 tahun dan/atau denda hingga Rp. 3 Miliar.

Kasus Kabaena kini bukan hanya soal ekologi, tapi juga soal keadilan sosial dan budaya. Hutan hilang, laut tercemar, dan komunitas Suku Bajo bersama masyarakat adat Moronene berada di ambang kehilangan ruang hidup mereka.

WALHI Sultra sudah berulang kali menyerukan agar aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Namun hingga kini, penegakan hukum masih minim, seakan jalan di tempat.

Dengan statusnya sebagai pulau kecil yang dilindungi undang-undang serta ditegaskan melalui Putusan MK, aktivitas tambang di Kabaena semestinya tidak boleh dibiarkan. Pertanyaan besar pun muncul: apakah Negara akan benar-benar menegakkan hukum dan menyelamatkan Kabaena, ataukah pulau kecil ini akan dibiarkan tenggelam dalam kerusakan tambang Nikel..??

**LM@**

. . . . . . .

Komentar