Suara Publik: “Untuk Apa Proses Hukum Panjang Jika Akhirnya Dihapus ” Reaksi atas Pemberian Abolisi dan Amnesti Kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto

News267 views

Jakarta – Lumbungsuaraindonesia.com Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara resmi mengajukan dua Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI pada 30 Juli 2025 terkait pemberian Abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan Amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, serta 1.116 narapidana lainnya.

Pengajuan ini mendapat persetujuan resmi dari DPR sehari kemudian, pada 31 Juli 2025, dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan pemerintah. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa keputusan diambil “untuk mendorong rekonsiliasi nasional dan menjaga stabilitas politik menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80”.

Isi Surpres Presiden.

Surpres Nomor R 43/Pres/07‑2025: Mengusulkan abolisi terhadap Tom Lembong, terkait proses hukum yang menurut pemerintah sarat kepentingan politik masa lalu.

Surpres Nomor R 42/Pres/07‑2025: Mengusulkan amnesti bagi Hasto Kristiyanto dan 1.116 narapidana, sebagian besar terkait pelanggaran pidana yang dinilai tidak berdampak pada keamanan nasional.

1. Nilai Politis Pemberian Abolisi dan Amnesti

Kebijakan abolisi (penghapusan proses hukum terhadap seseorang sebelum diputus pengadilan) dan amnesti (pengampunan terhadap tindak pidana tertentu, biasanya terkait politik) selalu bersifat politis, karena:

Keduanya diberikan berdasarkan keputusan politik presiden, meskipun bisa disertai pertimbangan hukum dan HAM.

Keduanya kerap digunakan untuk menciptakan rekonsiliasi, mengatur dinamika kekuasaan, atau menunjukkan arah keberpihakan politik presiden.

2. Jika Diberikan kepada Tom Lembong

Tom Lembong dikenal sebagai tokoh ekonomi yang pernah menjabat di era Presiden Jokowi. Jika ia diberikan abolisi, maka:

Kemungkinan tuduhan terhadapnya dianggap bermuatan politis atau tidak layak untuk dilanjutkan.

Baca Juga:  **Perihal Stadion Lakidende** Dr. Fachry Yamsu '' Pembangunannya Kami Hentikan Sementara ''

Bisa diartikan sebagai sinyal dukungan presiden terhadap kelompok teknokrat atau individu yang memiliki relasi dengan kubu tertentu (misalnya kubu reformis atau oposisi).

Bisa juga dibaca sebagai pesan kepada Penegak Hukum agar tidak menyeret kasus hukum ke ranah Politis.

3. Jika Diberikan kepada Hasto Kristiyanto

Hasto Kristiyanto adalah Sekjen PDI Perjuangan dan tokoh sentral dalam dinamika politik nasional. Jika ia diberi amnesti, maka:

Ini adalah manuver politik tingkat tinggi, karena PDI-P adalah partai besar yang berpotensi jadi oposisi atau mitra pemerintahan.

Bisa dianggap sebagai pintu rekonsiliasi antara presiden (atau pemerintahan baru) dengan PDI-P.

Akan menjadi preseden Hukum – Politik jika pelanggaran yang dituduhkan bersifat serius (misalnya, jika terkait intervensi Hukum atau penyalahgunaan kekuasaan).

Akan menimbulkan reaksi publik dan elite politik — apakah ini bentuk intervensi kekuasaan terhadap Hukum, atau bagian dari kompromi politik.

4. Risiko dan Dampak Politis.

Pro: Presiden bisa dilihat sebagai sosok yang bijak dan mengutamakan stabilitas politik.

Kontra: Bisa dianggap melemahkan supremasi hukum dan membuka ruang bagi impunitas elit politik.

Masyarakat bisa menilai bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas jika pemberian abolisi atau amnesti tidak disertai penjelasan publik yang kuat.

Tanggapan Para Ahli.

Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar — Ahli Hukum Tata Negara (UGM).

Abolisi dan amnesti memang hak prerogatif Presiden, tetapi tetap harus mengacu pada prinsip keadilan. Jika abolisi diberikan sebelum proses pengadilan berjalan, publik berhak bertanya: adakah intervensi kekuasaan terhadap hukum?

Baca Juga:  Sosialisasi Keselamatan Pelayaran, Ir. Ridwan Bae: Keselamatan Penumpang Adalah Prioritas Utama dalam Pelayaran Tradisional

Menurutnya, langkah ini berpotensi baik untuk rekonsiliasi, tetapi bisa mengikis kepercayaan publik jika tidak disertai dengan alasan hukum yang transparan.

Dr. Burhanuddin Muhtadi — Pengamat Politik (Indikator Politik Indonesia).

Keputusan ini jelas mengandung muatan politis. Tom Lembong mewakili kalangan teknokrat pasca-Jokowi, sementara Hasto adalah simbol kekuatan PDIP. Ini bagian dari strategi Presiden untuk meredam ketegangan dengan oposisi.”

Burhanuddin menilai manuver ini sebagai Rekonsiliasi Elitis yang mungkin tidak dirasakan langsung oleh rakyat, tetapi penting untuk menjaga stabilitas kekuasaan jangka menengah.

Bivitri Susanti — Pakar Hukum Tata Negara (STH Indonesia Jentera)

Kita tidak boleh lupa bahwa Abolisi dan Amnesti bukan sekadar tindakan politis, melainkan juga refleksi dari bagaimana negara memandang keadilan.  Jika ini hanya untuk Elite, maka itu melemahkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Ia menekankan perlunya pengawasan publik dan meminta agar DPR tidak sekadar menjadi stempel kekuasaan eksekutif.

Reaksi Partai Politik dan Masyarakat Sipil.

– PDIP menyambut baik keputusan Presiden. Sekjen PDIP Hasto menyatakan, ini langkah berani demi persatuan Nasional.

– Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan menilai langkah ini berpotensi mencederai independensi hukum dan meminta alasan yuridis lebih rinci dipublikasikan.

– PKS dan Demokrat memberi catatan kritis. Mereka meminta pemerintah berhati-hati agar abolisi dan amnesti tidak digunakan sebagai “alat Barter Politik.

Baca Juga:  Rakernis Bid Propam Polda Sultra T.A 2024: Optimalisasi Pengawasan Melekat untuk Polri yang Presisi

Kebijakan ini juga memicu gelombang pertanyaan dari kalangan masyarakat sipil. Banyak yang mempertanyakan makna dari proses hukum yang panjang, melelahkan, dan menyedot anggaran negara jika pada akhirnya kasus-kasus tersebut diselesaikan lewat intervensi Politik.

Kalau akhirnya dihapus juga, lalu apa gunanya sidang berkali-kali, menghadirkan saksi, memakai pengacara, bahkan aparat negara? Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal rasa keadilan masyarakat,  ujar Diah Rachmawati, anggota Koalisi Pemantau Peradilan.

Sedangkan, menurut data ICW, satu kasus besar bisa menyedot Ratusan juta hingga Miliaran Rupiah dari APBN — mulai dari biaya penyidikan, persidangan, hingga pengamanan.

Pemberian abolisi dan amnesti tidak boleh menjadikan proses hukum seperti panggung sandiwara. Hukum bukan formalitas; ia harus memberi rasa keadilan yang nyata, tegas Prof. Zainal Arifin Mochtar.

Dengan sorotan tajam terhadap biaya, waktu, dan tenaga dalam proses hukum, publik kini menuntut transparansi alasan presiden serta akuntabilitas moral dan hukum atas keputusan ini. Di tengah semangat rekonsiliasi, kepercayaan publik terhadap hukum tetap harus dijaga — atau akan tumbuh anggapan bahwa yang kuat dibebaskan, yang lemah dihukum.

Kesimpulan dan Implikasi.

Langkah Presiden Prabowo dalam memberikan abolisi dan amnesti menjelang HUT RI ke-80 bisa menjadi preseden penting dalam dinamika politik dan hukum Indonesia. Apakah ini wujud rekonsiliasi nasional atau kompromi kekuasaan?

Para ahli memperingatkan bahwa keputusan ini mesti disertai transparansi, akuntabilitas, dan tetap mengedepankan prinsip supremasi Hukum.

Redaksi : 1 Agustus 2025.
**LM@**

. . . . . . .

Komentar