Kendari – Lumbungsuaraindonesia.com Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) tengah mendalami laporan dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen yang menyeret manajemen Rumah Sakit (RS) Hermina Kendari. Penyidik telah menjadwalkan pemeriksaan resmi terhadap pihak manajemen rumah sakit dalam waktu dekat, sebagai bagian dari proses penyelidikan.
Kasus ini mencuat setelah seorang warga Kendari, melalui kuasa hukumnya dari Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sultra, melaporkan dugaan manipulasi status pasien. Dalam laporan itu disebutkan bahwa status pasien yang semula tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan, diduga diubah menjadi pasien umum. Perubahan status tersebut menimbulkan kejanggalan karena dalam kwitansi pembayaran tetap tercantum pasien BPJS.
Kuasa hukum pelapor menilai, tindakan itu berpotensi merugikan pasien sekaligus membuka celah adanya pemalsuan data atau klaim ganda terhadap BPJS Kesehatan.
Kasus ini bermula dari laporan salah satu keluarga pasien yang merasa dirugikan setelah istrinya, Yayuk Sapta Bela, menjalani perawatan di rumah sakit tersebut pada Juli 2025 lalu.
Suami pasien, Ahmad Ariansyah, bersama kuasa hukumnya, Andri Darmawan, resmi melayangkan laporan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sultra pada 26 Agustus 2025. Laporan itu menyoal dugaan tindak pidana pemalsuan dan penipuan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Menurut pelapor, terdapat kejanggalan dalam proses administrasi, khususnya terkait status pasien BPJS Kesehatan yang kemudian dialihkan menjadi pasien umum.
Awalnya, Yayuk mendapat rujukan untuk operasi sesar di RS Hermina Kendari. Namun setelah 12 jam menunggu tanpa kepastian kamar, sementara pasien umum lebih cepat mendapat pelayanan, suaminya memutuskan mengalihkan status perawatan dari BPJS ke jalur umum. Ahmad pun langsung melunasi biaya perawatan sebesar Rp17,9 juta melalui transfer bank atas nama Medika Loka Kendari.
Masalah muncul ketika ia menerima kwitansi pembayaran via WhatsApp yang masih tercatat dengan penjamin BPJS Kesehatan, padahal ia sudah resmi mengubah status menjadi pasien umum. Kejanggalan ini semakin menimbulkan kecurigaan setelah dua staf administrasi rumah sakit yang dihubungi tidak memberikan jawaban jelas, hanya meminta pasien mengkonfirmasi ke bagian kasir.
Tidak puas dengan respons pihak rumah sakit, Ahmad kemudian mendatangi Kantor BPJS Kesehatan Cabang Kendari. Ia bahkan menyebut sempat mendapatkan ucapan terima kasih dari salah satu pejabat BPJS yang menjanjikan akan menindaklanjuti masalah tersebut. Hal inilah yang mendorong dirinya membawa kasus ini ke ranah hukum.
Menanggapi laporan tersebut, Kasubdit IV DitreskrimumPolda Sultra, Kompol Indra Asrianto, membenarkan bahwa penyidik telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap pihak RS Hermina Kendari. Menurutnya, kasus ini masih dalam tahap penyelidikan dan belum ada penetapan tersangka. Kita akan lihat lebih jauh apakah benar terdapat unsur pidana atau hanya kesalahan administratif, tegasnya, Sabtu (6/9/2025).
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra membenarkan bahwa laporan sudah diterima dan sedang dalam tahap penyelidikan. Pemeriksaan terhadap manajemen RS Hermina dinilai krusial untuk mengurai duduk perkara, apakah persoalan ini benar mengandung unsur pidana atau sekadar kesalahan administratif.
Saat ini belum ada penetapan tersangka. Penyidik masih mengumpulkan keterangan dari para pihak, termasuk pihak manajemen RS Hermina yang akan segera diperiksa, ujar salah satu sumber kepolisian.
Sementara itu, pihak RS Hermina Kendari membantah adanya praktik pemalsuan atau diskriminasi terhadap pasien. Manajemen rumah sakit menjelaskan bahwa persoalan ini murni terkait kendala teknis pada sistem informasi manajemen rumah sakit (SIM-RS), bukan tindakan yang disengaja untuk merugikan pasien maupun BPJS.
Kami memastikan seluruh layanan pasien, baik umum maupun BPJS, diberikan sesuai aturan. Tidak ada praktik klaim fiktif ataupun diskriminasi layanan, tegas perwakilan RS Hermina, dr. LM Dilla, Wadir Rumah Sakit Hermina yang didampingi oleh dr. Fauziah, dr. Nini/humas dan marketing dalam keterangnnya dihadapan wartawan, Laika Cofee, 29/8/2025 yang lalu.
Analisa Hukum dan Dampak
Apabila dugaan pemalsuan dokumen dan penipuan terhadap pasien maupun BPJS benar terbukti, maka konsekuensi yang akan dihadapi RS Hermina tidak hanya sebatas pidana perorangan, tetapi juga sanksi administratif dari pemerintah.
1. Sanksi Pidana
Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun.
Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun.
Bila terbukti ada kerugian negara (dalam hal klaim BPJS), maka bisa diperluas ke tindak pidana korupsi sesuai UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
2. Sanksi Administratif dari Kementerian Kesehatan
Mengacu pada UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 Tahun 2019, rumah sakit yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi berupa:
Teguran lisan maupun tertulis.
Denda administratif.
Penghentian sementara pelayanan tertentu.
Pencabutan izin operasional rumah sakit apabila pelanggaran dianggap berat dan merugikan publik.
3. Sanksi dari BPJS Kesehatan
Berdasarkan regulasi kerja sama dengan fasilitas kesehatan, BPJS berhak memutus kontrak kerjasama apabila terbukti ada manipulasi klaim atau data pasien.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan. Bagi pihak pelapor, kejelasan dari Polda Sultra diharapkan bisa menjadi jalan terang untuk mendapatkan keadilan, sekaligus memastikan agar praktik serupa tidak kembali terjadi.
Dengan dijadwalkannya pemeriksaan manajemen RS Hermina, publik kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum. Proses penyelidikan ini akan menentukan apakah dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen benar terbukti secara hukum, atau hanya kesalahan Administratif belaka.
**LM@**


.
.
.
.
.
.
.
.
.





Komentar