Lelang Jabatan Setengah Hati dan Krisis Meritokrasi di Sultra

News80 views

Kendari/Lumbungsuaraindonesia.com
Rencana Pemprov. Sultra yang akan melaksanakan lelang jabatan tingkat eselon 2 mendapat sorotan dari berbagai kalangan, salah satunya adalah dari Paman Yogya.
Menurutnya, Kebijakan lelang jabatan di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara semestinya menjadi instrumen penting untuk memperbaiki kualitas birokrasi. Namun ketika kebijakan itu dijalankan secara tebang pilih, hanya menyasar sebagian Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan mengabaikan OPD strategis lainnya, maka yang lahir bukan reformasi birokrasi, melainkan krisis legitimasi pemerintahan, ungkapnya kepada Media ini, Ssbtu 27/11/2025.

Publik wajar mempertanyakan: jika lelang jabatan dimaksudkan untuk menegakkan sistem merit, mengapa hanya tujuh OPD yang dilelang, sementara banyak OPD lain yang sama-sama dijabat Pelaksana Tugas (Plt) dibiarkan tanpa proses seleksi terbuka,? Ungkapnya dengan heran.

Plt Melampaui Batas: Administrasi yang Disengaja Lalai
Regulasi kepegawaian nasional bersifat tegas. Dalam praktik administrasi negara, jabatan Plt dibatasi maksimal tiga bulan dan hanya dapat diperpanjang satu kali. Artinya, enam bulan adalah batas absolut. Jika fakta di lapangan menunjukkan Plt dibiarkan menjabat lebih dari itu, maka telah terjadi pelanggaran administrasi yang serius.
Ini bukan kesalahan teknis, ini kegagalan kebijakan.

Baca Juga:  Pada Upacara Hari Bhayangkara ke-78, Kapolda Sultra Tekankan Persiapan Pilkada dan Netralitas Polri

Membiarkan Plt menjabat berkepanjangan berarti menciptakan ruang abu-abu dalam birokrasi: otoritas setengah sah, tanggung jawab yang longgar, dan loyalitas yang rawan disimpangkan. Dalam sistem pemerintahan modern, jabatan sementara yang terlalu lama justru merusak stabilitas organisasi, lanjutnya.

Lelang Jabatan yang Tidak Adil: Merit Sistem yang Palsu
Sistem merit, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), menuntut keadilan, objektivitas, dan kompetisi terbuka dalam pengisian jabatan. Jika hanya sebagian jabatan yang dilelang, sementara yang lain “dikecualikan” tanpa dasar yang jelas, maka meritokrasi berubah menjadi kosmetik administrasi.

Inilah yang disebut dalam kebijakan publik sebagai selective enforcement, yaitu penegakan aturan hanya pada pihak tertentu, sementara pihak lain mendapatkan perlakuan istimewa.

Dalam birokrasi, diskriminasi kebijakan adalah Racun.
Dan yang lebih berbahaya: publik melihatnya, memahami polanya, dan menyimpulkan sendiri motifnya.

Peran Sekda yang Melemah: Birokrasi Tanpa Komando
Sekretaris Daerah adalah komandan tertinggi ASN di daerah. Ia bertanggung jawab atas pembinaan karier, penempatan pejabat, dan tata kelola administrasi pemerintahan. Ketika peran ini dilemahkan atau dilewati, pemerintahan kehilangan pusat kendali.

Baca Juga:  Polri Kirim Tim Pemulihan Trauma Korban Terdampak Erupsi Gunung Lewotobi

Jika benar terdapat disharmoni antara Sekda dan kepala daerah, maka persoalannya bukan hubungan personal, melainkan runtuhnya sistem.

Pemerintahan tidak dijalankan dengan selera, tetapi dengan struktur.
Dan struktur yang tidak dihormati akan melahirkan kekacauan kebijakan.
Aroma Kepentingan dan Ingatan Kolektif Publik

Masyarakat Sultra tidak berada dalam ruang hampa. Mereka masih mengingat polemik masa lalu terkait keberadaan staf ahli yang dinilai melampaui kewenangan. Maka hari ini, ketika muncul dikotomi: “OPD yang boleh dilelang” dan “OPD yang tidak disentuh”, kecurigaan bukan lagi spekulasi, melainkan respons rasional.

Dalam pemerintahan, bukan hanya kebijakan yang diuji, tetapi kepercayaan.
Ketika kepercayaan runtuh, kekuasaan ikut melemah.

Slogan “harmoni” yang digaungkan pemerintah daerah seharusnya tercermin dalam tata kelola ASN: objektif, terbuka, dan adil. Namun harmoni sejati tidak dibangun dengan mengistimewakan sebagian pihak dan membungkam yang lain.

Harmoni yang dicapai melalui ketakutan, kompromi kekuasaan, atau pembiaran pelanggaran hanyalah harmoni semu.

Rapuh dari Dalam.
Dua Pilihan Pemerintah: Terbuka atau Ditinggalkan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara kini berada di persimpangan:
Pertama, membuka secara jujur dan transparan dasar kebijakan: mengapa hanya tujuh OPD yang dilelang, apa indikatornya dan siapa yang menetapkan pengecualian.

Baca Juga:  Pelajar SMPN 1 Kendari Tampil Memukau Peragakan Tarian Khas Sultra Pada Ivent Lotus Festival di Los Angeles, California, AS

Atau kedua, memilih Diam.
Namun sejarah membuktikan, diam dalam tata kelola publik bukan netral, tetapi kehilangan kepercayaan.

Sebagai pengamat kebijakan publik, saya menegaskan: Lelang jabatan bukan alat seleksi politik.
Plt bukan alat kompromi kekuasaan.
Dan reformasi birokrasi tidak boleh setengah hati.

Jika praktik ini terus dibiarkan, Sultra bukan sedang membangun birokrasi modern, tetapi mewariskan krisis tata kelola untuk generasi pemerintahan berikutnya, tutup Paman Yogia.

Untuk diketahui bahwa ada Sebelas ( 11 ) OPD yang akan dilakukan lelang jabatan setingkat eselon 2 antara lain, Kepala Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah (Eselon II.b), Kepala Biro Umum Setda (Eselon II.b), Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah (Eselon II.b), Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (Eselon II.a), Kepala Dinas Kehutanan (Eselon II.a), Kepala Dinas Kesehatan (Eselon II.a), serta Direktur RSUD Bahteramas (Eselon II.b).

Masa pendaftaran berlangsung selama 15 hari, di mulai tanggal 25 November 2025.

. . . . . . . . . . . . . .

Komentar