Sultra – Lumbungsuaraindonesia.com
Sorotan publik kembali mengarah ke panitia Seleksi Tilawatil Qur’an dan Al Hadist (STQH) Nasional ke-XXVIII di Kota Kendari. Setelah sebelumnya dihebohkan dengan maskot anoa berjilbab yang dinilai menyinggung simbol keagamaan, kini keputusan menghadirkan band Ungu sebagai penampil utama pada penutupan acara Sabtu malam (18/10/2025) menambah panjang daftar kontroversi yang menyelimuti ajang keagamaan tersebut.
Padahal, STQH sejatinya adalah panggung syiar Islam, tempat para qari dan qariah dari 38 provinsi melantunkan ayat suci dan hadist dengan penuh kekhusyukan. Namun, alih-alih menutup dengan lantunan zikir atau tausiyah, panitia justru memilih menghadirkan konser musik populer, sesuatu yang oleh banyak kalangan dianggap mencederai kesakralan dan makna dari STQH itu sendiri.
Rangkaian Polemik yang Tak Berkesudahan.
Pelaksanaan STQH di Kendari memang tak lepas dari persoalan sejak awal. Mulai dari ketidakterlibatan media lokal dalam peliputan, hingga dikeluarkannya Asosiasi Rental Mobil Sulawesi Tenggara dari pengadaan kendaraan resmi peserta dan official.
Namun puncaknya adalah ketika masyarakat mendengar kabar bahwa konser band nasional akan menutup ajang religius itu. Bagi sebagian warga, keputusan tersebut terasa seperti “tamparan” terhadap nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi dalam kegiatan berbasis Al-Qur’an.
Ini sudah di luar nalar. Bagaimana mungkin acara yang bertujuan memuliakan kalam Allah ditutup dengan konser musik?” ungkap salah satu warga di Kendari dengan nada kecewa.
La Ode Hasman: Panitia Telah Salah Arah.
Tokoh masyarakat Sulawesi Tenggara, La Ode Hasman, SE., MM., tak kuasa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menilai keputusan panitia tersebut sebagai bentuk ketidaksensitifan terhadap nilai dan marwah kegiatan keagamaan.
Saya sangat prihatin. Dimana urgensinya penutupan STQH Nasional dimeriahkan dengan konser band Ungu? Ini kegiatan syiar, bukan festival hiburan,” tegasnya, kepada Media ini.
Hasman juga mempertanyakan konsep acara yang tak menjamin adanya pemisahan antara penonton laki-laki dan perempuan, sebagaimana diatur dalam nilai-nilai Islam.
Apakah ada jaminan penonton dipisah seperti yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Hadist? Ternyata tidak ada. Lalu di mana letak religiusitasnya?” sambungnya.
“Jangan Campur Minyak dan Air”
Dengan nada kecewa yang dalam, Hasman menegaskan agar panitia lebih arif dan tidak mencampuradukkan antara hiburan dan dakwah.
Lanjut Hasman, jangan campur minyak dan air, karena sampai kapan pun tidak akan menyatu. Masyarakat sudah cukup heran dan miris dengan konsep panitia yang justru menjauh dari marwah keagamaan, ujarnya.
Ia menyarankan agar penutupan STQH seharusnya diisi dengan kegiatan bernuansa Islam seperti rebana, kasidah, atau sholawatan, atau menghadirkan tokoh agama karismatik seperti Ustaz Das’ad Latif agar semangat dakwah tetap terjaga.
Kekecewaan warga tak hanya muncul di ruang publik, tetapi juga merebak di media sosial. Banyak warganet menilai panitia telah kehilangan arah dan kepekaan terhadap tujuan mulia kegiatan STQH.
Ini bukan sekadar salah langkah, tapi salah nilai. Seolah syiar Islam dikaburkan oleh sorotan lampu panggung, tulis salah satu komentar di media sosial.
Bagi sebagian masyarakat Kendari, kehadiran konser musik di acara keagamaan nasional seolah menjadi cermin dari krisis rasa dan nurani dalam mengelola kegiatan bernuansa spiritual.
Catatan Akhir.
STQH Nasional ke-XXVIII di Kendari seharusnya menjadi momentum memperkuat semangat religius dan mempererat ukhuwah Islamiyah antar daerah. Namun berbagai kontroversi yang mengiringi, dari maskot hingga konser musik, justru menimbulkan luka simbolik di hati masyarakat yang berharap acara suci itu berlangsung dengan penuh adab dan kehormatan.
Kegiatan religius seharusnya tidak dikomodifikasi dengan konsep hiburan massal. Ada ruang yang sakral dalam syiar Islam yang harus dijaga dari pengaruh komersialisasi dan pencitraan, ujar salah satu aktivis budaya Sultra yang enggan disebut namanya.
Keputusan panitia menghadirkan band nasional dalam acara penutupan STQH menunjukkan krisis kepekaan terhadap ruang publik yang religius dan sosial-budaya masyarakat lokal. Di wilayah seperti Sulawesi Tenggara, di mana nilai-nilai Islam terjalin erat dengan adat dan moral kolektif, langkah semacam ini bukan hanya kesalahan teknis, melainkan pelanggaran terhadap rasa dan nurani sosial.
STQH bukan sekadar lomba membaca kitab suci, melainkan bagian dari proses pembinaan spiritual bangsa. Ketika konsepnya disusupi oleh logika hiburan dan pencitraan, maka pesan dakwah yang hendak disampaikan berpotensi tereduksi menjadi tontonan semata.
Dalam konteks itu, publik berhak kecewa, bahkan marah, sebab yang dilukai bukan hanya tradisi keagamaan, tetapi juga martabat moral umat.
Komentar