Kendari,lumbungsuaraindonesia.com
Bendungan Ameroro yang terletak di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan total luas lahan 578,78 Ha, yang diproyeksikan memiliki kapasitas tampung 98 juta M3 dan luas genangan 380 Ha ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam rangka memdukung ketahanan pangan nasional.
Sejatinya keberadaan proyek ini menjadi angin surga dan mampu mendorong tingkat perekonomian dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, namun hingga target penuntasan pembangunannya rampung masih menyisakan polemik, yakni penyelesaian ganti rugi lahan warga yang terdampak genangan belum terbayarkan.
Disinyalir sarat permainan dalam pendataan dan pengukuran lahan warga penerima dampak, yang akan di ganti rugi oleh Pemerintah melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi IV
Karena polemik ganti rugi belum tuntas dan adanya dugaan permainan, membuat Sarpin Ketua Kelompok Masyarakat Perhutani yang telah mengolah lahan tersebut jauh sebelum hadirnya PSN Ameroro angkat bicara dan mengancam bakal menempuh jalur Hukum
Hal ini dibenarkan Khalid Usman SH MH dan Rekan selaku kuasa hukum yang ditunjuk kelompok masyarakat tersebut
Ia mengungkapkan setelah melakukan pendampingan dan mengadvokasi masyarakat, mereka meminta dilakukan pembelaan hukum. Sehingga bersama rekan Tim Advokat dan warga akan mengumpulkan bukti yang menjadi dugaan, baik yang mengarah terjadinya tindakan melawan hukum secara pidana maupun secara perdata.”Dalam hal ini ingin saya menjelaskan terkait tentang hukum perdata atau tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan juga berhubungan dengan Hukum Administrasi Negara yang terjadi di PSN Bendungan Ameroro,”sebutnya.
Sebenarnya, Kelompok Masyarakat penerima hak ganti rugi lahan dan tanaman sangat menginginkan dilaksanakan secara transparan, terukur, tepat dan tidak sarat KKN. Serta berdasarkan peraturan perundang undangan tentang ganti rugi tanaman mulai dari yang kecil, sedang hingga yang besar.”Jika ini dilaksanakan oleh pihak terkait baik pihak BWS, Tim Satgas Pengukuran dan Pemerintah Desa secara serius, profesional dan berintegritas, saya kira semua tuntas dan tidak ada polemik, tapi sampai hari ini ganti rugi tersebut tidak dibayar dan belum terbayarkan,,”ujar Khalid
Menyinggung berapa luas lahan masyarakat yang belum terbayar, Total keseluruhan milik warga diseputaran Bendungan Ameroro di taksir -/+ 800 Ha namun khusus yang dampinginya seluas 200 Ha, dengan perkiraan penaksiran nilai tanaman tumbuh sebesar Rp300 Juta/Ha. Sudah termasuk didalamnya kuburan keluarga dan tanaman jangka panjang dan tanaman tumbuh lainnya.
Advokat Khalid Usman juga menerangkan bahwa mayoritas warga didampinginya bermukim di Desa Tawarotebota Kecamatan Uepai, yang mana kelompok Masyarakat sudah menyodorkan bukti bukti lengkap dalam bentuk dikeluarkannya surat pendataan ulang tentang daftar nama baru yang akan menerima ganti rugi oleh Pemerintah Desa, mirisnya beberapa nama dihilangkan, sarat KKN, sehingga menimbulkan pro kontra ditengah masyakarat
“Kuat dugaan pendataan ganda ukuran lahan penerima ganti rugi sengaja dilakukan untuk menciptakan kubu di masyarakat, Tentunya ini sangat berbahaya bagi Kantibmas, mengarah indikasi memecah belah masyarakat untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu,”tukas Pengacara jebolan PERADI ini.
Adanya perbedaan pendapat antar ketua Kelompok Hutan Masyarakat dengan Kepala Desa domisili mereka mengenai surat pendataan dobel, Khalid mengungkapkan bahwa dugaan indikasi pertentangan itu bisa masuk dalam PTUN tentang Hukum Administrasi Negara mengenai surat menyurat yang dikeluarkan oleh pejabat Negara atau Pemerintah Desa.
Sehingga agar tidak berlarut larut, Ia meminta kepada instansi Pemerintah terkait agar pembayaran segera ditunaikan, tidak dipolitisir, tidak mengindikasikan mengadu domba masyarakat satu dengan yang lainnya. Sebab Negara telah memporsikan untuk pembayaran ganti rugi lahan, tanaman perkebunan, termasuk kuburan dan lainnya.
“Berharap selaku Kuasa Hukum Kelompok Masyarakat Sarpin agar segera dibayarkan dan tuntaskan sesuai hak masyarakat, tidak melakukan pembendungan sebelum lunas karena dapat menghilangkan identitas hak masyarakat,”pintanya
Dan Jika tidak diindahkan dalam waktu dekat, sambung Khalid Usman, akan mengajukan Somasi kepada pihak terkait sekaligus akan menyurat pada Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Nasional di Jakarta.
Seluruh upaya Hukum akan kita lakukan demi kepentingan Hukum pemberi Kuasa,”pungkas pengacara yang akrab disapa Dodi ini, diakhir penuturannya..””
Komentar